Kamis, 21 Juli 2016

Rahasia di Balik Asyiknya Naik Carousel

Jalan-jalan ke taman bermain, jangan lupa naik Carousel. Daya tarik permainan ini memang luar biasa. Hebatnya Carousel, dari abad ke abad, hingga kini masih tetap dicintai oleh segala usia.  

Carousel atau korsel atau komidi putar, atau dalam bahasa Inggris disebut Merry Go Round adalah jenis permainan yang umumnya ada di taman wisata atau taman hiburan anak-anak. Umumnya model Carousel berbentuk kuda-kudaan yang bisa bergerak naik-turun saat berputar, lengkap dengan iringan musik yang gembira. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, sekarang ada banyak model Carousel yang ditawarkan.

Ada Carousel yang menampilkan bentuk binatang lain seperti harimau, kereta-keretaan, atau mobil-mobilan. Ada yang menampilkan model Carousel megah, lengkap dengan tampilan visual menarik dipenuhi cahaya lampu serta warna. Ada juga model Carousel sederhana, tanpa kuda-kudaan, bahkan tanpa gerakan naik-turun dari objek yang dinaikinya.

Apa sesungguhnya yang membuat orang begitu tertarik untuk menaiki Carousel ? Apakah karena model Carousel-nya yang menarik, atau karena ingin merasakan sensasi berputar-putar di atas platform datar melingkar berukuran besar? Yang jelas, tawaran “keasyikan” naik Carousel semuanya sama, yaitu mengajak peminatnya berputar-putar dalam kecepatan sedang, bahkan ada yang semakin cepat, selama beberapa waktu. Lalu setelah selesai menaikinya, biasanya orang tertawa puas gembira, sambil berjalan sedikit terhuyung karena efek putaran tersebut.

Mengintip sekilas sejarahnya, permainan Carousel merupakan permainan bola tanah yang dimainkan  oleh para penunggang kuda Arab dan Turki secara serius dalam gerakan saling melempar dan berputar-putar pada Abad ke-12.  Sejumlah tentara Salib Italia yang melihat permainan tersebut kemudian menyebutnya sebagai perang kecil atau “Carosello”. Permainan ini lalu diadopsi lagi oleh Perancis sebagai pertunjukan kompetisi berkuda, dan disebut “Carousel”. Demam permainan Carousel atau komidi putar pun mulai melanda Eropa dan mencapai masa keemasannya di tahun 1800-an (Sumber: International Museum of Carousel Art).

Carousel di Taman Wisata Benteng Van Der Wijck, Gombong.
Sumber Foto: Dendi Pratama

Keinginan bawah sadar manusia untuk merasakan sensasi berputar-putar itu sebenarnya tidak terlepas dari pengaruh alam semesta. Ini disebabkan seluruh benda di alam semesta memang melakukan gerakan berputar untuk mencapai keseimbangan. Bulan bergerak berputar pada porosnya. Sambil bergerak, bulan juga  berevolusi, berputar mengelilingi bumi. Lalu bersama bumi, bulan pun bergerak berputar mengelilingi matahari. Bumi tempat kita berpijak pun melakukan rotasi, bergerak pada porosnya, menimbulkan pergantian siang dan malam. Lalu sambil berotasi, bumi bersama planet-planet lainnya juga bergerak mengelilingi matahari, menimbulkan pergantian musim-musim. Semua benda langit berputar mengelilingi pusat Galaksi Bimasakti. Bahkan temuan sejumlah lubang hitam (black hole) dari yang kecil sampai yang superbesar di tahun 2015  juga menunjukkan kekuatan gaya gravitasi yang mampu menyedot apa pun dengan gerakan berputar.

Dengan kata lain, keinginan untuk berputar seolah telah menjadi kodrat manusia sebagai bagian dari alam semesta, yaitu untuk tetap menjaga keseimbangan dirinya, terutama  keseimbangan jiwa dan pikiran. Bisa jadi karena adanya kebutuhan dasar makhluk hidup untuk menemukan “keseimbangan” yang dirindukan seperti saat manusia sedang bertawaf  mengelilingi Ka’bah. Ekspresi untuk menyikapi kehidupan manusia yang diibaratkan roda berputar ini juga seperti kata lirik lagu lama Benny Soebardja (“Apatis”, 1978):

Roda-roda terus berputar, tanda masih ada hidup, karna dunia belum henti, berputar melingkar searah....

Jadi wajar saja kalau kita selalu rindu ingin naik Carousel. Yang pasti, rahasia asyiknya berputar hanya bisa dirasakan diri sendiri. Yuk, naik Carousel

Kamis, 14 Juli 2016

Jason Bourne (Movie): Matt Damon dan Karakter Bourne yang Bikin Kangen

Kemunculan film Jason Bourne di akhir Juli 2016, segera jadi incaran para penggemarnya yang sudah kangen berat dengan Bourne. Bukan hanya karena daya tarik karakter mantan agen rahasia CIA Jason Bourne yang memikat, dan tidak pernah membosankan. Akan tetapi lantaran seri film “Bourne” ini memang selalu asyik ditonton karena sajiannya yang penuh aksi, misteri, dan ketegangan.

Sama seperti pada seri yang diperankan sebelumnya, yaitu The Bourne Identity (Tahun 2002), The Bourne Supremacy (Tahun 2004), dan The Bourne Ultimatum (Tahun 2007), aksi Matt Damon juga mampu memacu detak jantung dari awal hingga akhir film. Kekuatan skenario dari film-film Bourne adalah membangun rangkaian misteri yang kompleks dan berbelit tentang oknum-oknum di dalam organisasi CIA yang tidak berhenti memburu Jason Bourne. Di film itu, digambarkan ingatan Bourne tentang identitas dirinya sudah pulih, akan tetapi Nicky Parsons (lawan main lamanya yang diperankan Julia Stiles) kembali mengingatkan, “Remembering everything it doesn’t mean you know everything”. Dengan kata lain, kita mungkin tahu segalanya, akan tetapi belum tentu tahu betul segalanya.


Ungkapan ini pun menjadi sarat makna karena sepanjang menonton filmnya, penonton memang diajak untuk terus menelusuri sepak terjang perjalanan kehidupan mantan agen rahasia CIA David Webb alias Jason Bourne. Bourne dikisahkan terus berusaha untuk mengungkap kebenaran tersembunyi dari masa lalunya yang pernah terurai laksana puzzle, sehingga ia harus menyatukan kepingannya satu demi satu. Skenario yang ditulis oleh Paul Greengrass (merangkap sutradara), Matt Damon, Christopher Rouse, tetap mampu mengacak-acak imajinasi dan daya pikir penonton hingga penghujung film, lengkap dengan adegan kejar-kejaran, perkelahian, sedikit bumbu romansa, dan pergantian setting super cepat, yang membuat bola mata dipaksa untuk ikut berlari-lari mengikuti pergerakan adegan. Lalu di akhir kisah, seperti yang sudah-sudah, ujung-ujungnya film ini pun tetap masih menyisakan ruang terbuka untuk sekuel judul berikutnya.

Matt Damon dengan kekuatan karakter Jason Bourne seolah telah menyatu di dalam dirinya, sehingga jika terpaksa kita harus menonton film lain yang diperankan oleh Matt Damon, terkadang persepsi visual kita tentang dirinya tetap terpusat pada karakter Bourne.  Narasi karakter Bourne yang aslinya ditulis oleh novelis Robert Ludlum berhasil direpresentasikan melalui raut dan ekspresi wajah, sorot dan pandangan mata, bentuk fisik, sikap tubuh, hingga tindak laku yang dimainkan Matt Damon. Bourne dalam persepsi penontonnya adalah karakter yang tangguh, berani, kuat, cerdas, cermat,  sekaligus perkasa, namun jauh di lubuk hatinya yang dalam, ia memiliki sisi yang lembut, penuh kasih, setia, dan seorang pelindung. Ekrepsi wajah dinginnya yang kerap hadir hanyalah  akibat dari perjalanan kehidupannya yang keras. Kehidupan yang pasti mampu mengubah siapa pun, terlebih bila sudah menyangkut urusan hidup dan mati. 

Selain menghadirkan karakter lama dari Julia Stiles, selebihnya film ini memunculkan karakter baru, termasuk menampilkan aktor senior Tommy Lee Jones. Karakter Bourne adalah karakter yang mewakili sisi gelap dan sisi terang manusia. Karakter yang memahami kehidupan realitas manusia apa adanya. Karakter yang bikin kangen.

Makna Pandangan atau Tatapan (The Gaze) dalam Budaya Visual

Pernah dilihatin orang nggak?  Terus kita suka bilang, "Apaan lu lihat-lihat?" Gitu, kan? Jangan keliru berucap. Yakin dia se...