Rabu, 14 Desember 2016

Moana: Perempuan dan Jantung Kehidupan

Kekayaan laut dan kesuburan di pulau-pulau yang hijau mendadak dihantui kegelapan, ketika jantung Te Fiti, Sang Dewi Pulau dicuri oleh Maui, manusia yang dibesarkan oleh para dewa. Akibatnya, panen gagal, ikan-ikan menghilang, cuaca tidak bersahabat, dan rakyat yang tinggal di kepulauan  wilayah Samudera Pasifik pun harus menderita berkepanjangan.

Sejak menit pertama dimulai, film musikal animasi 3D Moana sudah mampu membuat penontonnya terpana dengan gambar-gambar fantasi penuh warna. Animasi produksi Disney garapan duet sutradara Ron Clements dan John Musker ini menampilkan detail elemen visual yang begitu “real”. Sebagai pembuka, karakter Mau’i (suara oleh  Dwayne Johnson) dimunculkan mengiringi tuturan narasi yang bergaya flashback, dengan intonasi yang sedikit mencekam, sehingga membuat penonton  mulai penasaran.  

Apakah rakyat harus terus menderita? Tentu saja tidak. Di sinilah, nafas film itu dimulai. Dari suasana mencekam, secara perlahan penonton diajak berpindah untuk menikmati hentakan irama musik pesisir yang gembira. Adegan demi adegan menghadirkan karakter Moana Waialiki (suara oleh Auli’i Cravalho), putri Kepala Suku Tu Waialiki, dari mulai kecil hingga dewasa.  Sosok yang kemudian dibangun untuk merepresentasikan seorang perempuan penjelajah laut yang perkasa di dunia  petualangan samudera.  

Film Animasi 3D Musikal: Moana, Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=LKFuXETZUsI
Sepanjang menonton film animasi musikal ini, penonton terus diajak berpindah secara dinamis dari suasana gembira, mencekam, komedi, sentimental, gembira lagi, tegang lagi, lucu lagi, sentimental lagi, begitu seterusnya, dan secara  keseluruhan sangat menghibur.  Secara visual, kekuatan film Moana terletak pada setting suasana kepulauan dan lautan yang indah, penuh kemilau warna-warna terang yang kontras. Penonton seolah diajak untuk berimajinasi tentang  sumber kehidupan yang tak ada batasnya.

Selain itu, ada Moana dan Maui sebagai tokoh sentral dengan karakter visual  yang kuat. Moana sebagai anak kepala suku adalah khas “seorang putri yang cantik dan  menarik”, digambarkan melalui wajah oval dan mata bulat besar, gaya rambut ikal panjang terurai, tubuh semampai namun terampil memanjat, menyelam, melompat, dan berlari. Kemudian Maui digambarkan sebagai pria yang kuat, sedikit egois, bisa berubah menjadi berbagai makhluk, bertubuh besar yang dipenuhi tato sebagai catatan perjalanannya, namun juga berhati lembut.  

Ditambah lagi, rangkaian lagu yang mengiringi sejumlah adegan penting seolah ikut menguatkan pesan yang ingin disampaikan dalam film ini, bahwa perjuangan hidup menjadi hak dan kewajiban setiap makhluk, baik perempuan ataupun lelaki. Akan tetapi, jantung kehidupan itu sendiri diumpamakan sebagai  “jantung Sang Dewi Te Fiti”, jantung “perempuan”.


Bumi yang direpresentasikan melalui sosok Dewi Pulau Te Fiti adalah bumi yang divisualisasikan dalam bentuk perempuan berselimutkan pepohonan, yang  kesuburan dan kesejahteraan rakyatnya terletak dalam bentuk spiral sebagai “Heart of Te Fiti”.  Itulah sebabnya bumi, tanah air, tempat manusia berpijak, disebut juga  sebagai ibu pertiwi. Film animasi musikal Moana tidak hanya menghibur, tetapi juga diperkaya dengan mitologi. Karakter Moana sang penjelajah tangguh dan Dewi Te Fiti seolah mewakili sebuah pesan yang dalam tentang makna dari jantung kehidupan yang sesungguhnya bagi manusia.  Film Moana secara apik  berhasil mendesain sebuah konstruksi pesan yang dalam, terutama ketika peran gender menjadi bagian di dalam media dan seni, khususnya film animasi.   

Sabtu, 03 Desember 2016

Menulis Artikel Ilmiah; Kriteria Best Paper di Konferensi Internasional

Bagi seorang dosen, melaksanakan kegiatan riset adalah bagian dari Tri Darma Perguruan Tinggi. Tantangannya, dosen pun dituntut untuk selalu kreatif mengembangkan gagasan melalui tulisan-tulisan ilmiah. Cara-cara untuk merangsang kreativitas menulis ini di antaranya adalah harus aktif mengikuti call papers dalam seminar atau konferensi nasional maupun internasional.

Saat saya masih menjadi mahasiswa S3 di Institut Teknologi Bandung dulu, ada kewajiban untuk menerbitkan makalah dalam prosiding dan jurnal, baik nasional maupun internasional. Kewajiban ini semula dirasakan sangat berat, karena tidak mudah untuk menyelesaikan sebuah riset dan menuliskannya dalam bentuk artikel ilmiah. Akan tetapi, dengan berjalannya waktu,  hal yang semula menjadi kewajiban lantas berubah menjadi sebuah keasyikan. Bahkan setelah saya resmi menyandang gelar Doktor,  dorongan untuk terus mengeluarkan gagasan ilmiah menjadi sebuah kebutuhan. Artinya, segala sesuatu yang awalnya tidak biasa dan sulit menjadi hal yang menyenangkan secara akademik. Kuncinya ternyata sederhana, yaitu meniatkan kesungguhan untuk memulai dan tetap bersemangat untuk terus belajar.

Saya teringat sebuah ayat, “....dan apabila dikatakan “Berdirilah kamu”, maka berdirilah kamu, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat...” (QS Al Mujaadilah:11)

Makna ayat ini baru saya pahami belakangan. Alhamdulillah (itupun mungkin baru pemahaman yang sedikit). Akan tetapi, pengalaman saya mengikuti berbagai konferensi nasional dan internasional, baik di dalam maupun luar negeri, akhirnya berhasil mengantarkan salah satu artikel ilmiah saya yang berjudul Understanding Visual Grammar On The Stop Smoking Public Service Announcement: Analysis of Television Ad “Vocal Cords Loss Due To Smoke” untuk meraih Best Paper pada The 1st International Conference of Vocational Higher Education (ICVHE) pada November 2016 lalu. Sebuah Konferensi Internasional dari Program Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia yang mengusung tema “Innovation on Vocational Higher Education”. Konferensi ini sejak Juli telah menyeleksi ratusan makalah riset dan meloloskan 92 riset terbaik dari berbagai universitas, baik di dalam dan luar negeri (Lihat: http://vokasi.ui.ac.id/r1/index.php/id/BeritaVokasi/229.)


Peneliti (baju hijau) bersama rekan-rekan Dosen Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta.

Melalui tulisan ini, saya ingin sedikit berbagi, bahwa ada empat (4) hal yang memungkinkan sebuah artikel ilmiah berbasis riset dapat meraih “Best Paper” dalam Konferensi Nasional ataupun Internasional, yaitu:
1. Novelty (Kebaruan), artinya artikel ilmiah harus menyajikan kebaruan dari objek yang diteliti maupun dalam konteks pembahasannya berdasarkan teori yang digunakan.
2. Originality (Orisinalitas), artinya objek yang diteliti merupakan karya orisinal, sebagai gagasan ilmiah peneliti sendiri, dan belum pernah dibahas oleh peneliti lain.
3. Sistematically (Sistematis), artinya pembahasan objek penelitian mampu disusun secara sistematis dan mudah dipahami oleh semua kalangan, mulai dari latar belakang masalah, tinjauan pustaka, metode atau pendekatan yang digunakan, teori yang dijadikan acuan, serta temuan riset sebagai simpulan penelitian.
4. Relevant (Relevan), artinya pembahasan objek penelitian relevan dengan penerapan dan perkembangan ilmu pengetahuan saat ini, sekaligus dapat menjadi sumbangan pemikiran yang berguna untuk pengembangan ilmu secara teoritis dan praktis.

Semoga bermanfaat. Salam edukasi.

Makna Pandangan atau Tatapan (The Gaze) dalam Budaya Visual

Pernah dilihatin orang nggak?  Terus kita suka bilang, "Apaan lu lihat-lihat?" Gitu, kan? Jangan keliru berucap. Yakin dia se...