Senin, 13 Juni 2016

Finding Dory, Sebuah Ruang Visual Bawah Laut Penuh Makna

Liburan lebaran sebentar lagi. Ada satu hal yang paling ditunggu anak-anak kali ini. Mereka pasti sudah tak sabar ingin segera menonton film Finding Dory. Film animasi tiga dimensi yang diproduksi Pixar Animation Studios ini memang layak ditonton.  Film ini mengangkat tema penuh makna tentang pentingnya sebuah keluarga. Bagi masyarakat Indonesia, Idul Fitri identik dengan momen kunjungan antarkeluarga untuk saling bermaafan. Kehadiran film Finding Dory bisa menjadi pilihan yang tepat. Melalui film ini, anak-anak tidak hanya dapat lebih memahami  tradisi pertemuan keluarga, tetapi juga dapat belajar tentang kasih sayang.  

Sebagai sekuel dari Finding Nemo,  Finding Dory yang kembali disutradarai Andrew Stanton juga masih menampilkan Nemo (disuarakan Hayden Rolence),  Marlin (ayah Nemo, disuarakan Albert Brooks), dan tentu saja Dory (disuarakan Ellen DeGeneres). Mereka bertiga melakukan perjalanan panjang dalam upaya membantu Dory untuk menemukan keluarganya di California, yang sayangnya Dory sendiri lupa tepatnya berada di mana. Maklum saja, Dory memang ikan pelupa, dan ia sempat terpisah dari sahabat-sahabatnya itu karena –sama seperti kasus Nemo—ia yang ditangkap oleh manusia. Hanya saja, manusia yang menangkapnya kini adalah para penyelamat biota laut. 

Dialog-dialog jenaka, kadang mengharukan, bukan sebatas percakapan biasa, tetapi  membawa pesan yang mudah dicerna. Ditambah lagi sejumlah adegan kejar-kejaran yang kadang menggelikan sekaligus tegang. Semuanya divisualisasikan dalam ruang bawah laut yang kaya warna-warna kontras.  Elemen-elemen laut disajikan dengan detail-detail yang indah, lengkap dengan aneka jenis makhluk laut yang tampilannya imajinatif.

Dalam konteks studi tentang ruang (proxemics), Finding Dory berhasil menyampaikan pesannya melalui ilustrasi ruang visual bawah laut yang penuh makna. Film ini juga mampu mempresentasikan objek dan waktu petualangan karakternya yang menimbulkan rasa penasaran penonton. Dalam hal ini, ruang bawah laut adalah wadah bagi Dory sebagai objek dan karakter visual utama, yang berenang dengan pergerakan cepat melewati peristiwa demi peristiwa sebagai waktu perjalanan penuh petualangan. Pertemuan Dory dengan Bailey, sang Paus putih, dengan Hank, si Gurita, atau saat ia tertangkap untuk dikarantina dan dipindahkan ke wilayah lain, menciptakan adegan-adegan yang tidak monoton. Mengulang sukses gaya bercerita di Finding Nemo, secara perlahan tetapi pasti, penonton di film ini digiring untuk memahami makna pesan tentang pentingnya arti keluarga, nilai-nilai persaudaraan, persahabatan, perjuangan, sifat tidak mudah menyerah, keyakinan serta semangat. Rasa dan hasrat Dory sebagai ikan adalah metafora dari perasaan dan hasrat pada manusia secara realitas dan apa adanya, sehingga  mendorong anak-anak untuk ikut merasakan, dan yang terpenting adalah memahami makna pesannya.

Minggu, 12 Juni 2016

7 Kekuatan Visual “horor” The Conjuring 2

Jangan sembarang bermain Ouija, papan spirit atau papan bertuliskan alfabet dan angka yang dapat berbicara. Gara-gara habis bermain Ouija,sebuah keluarga yang  tinggal di Enfield, Inggris mendadak tak lagi bisa hidup tenang.

Setidaknya itu pesan singkat yang melatarbelakangi kasus Enfield Poltergeist yang terjadi pada tahun 1977 hingga 1979. Melanjutkan sukses  the Conjuring , dalam film The Conjuring 2 para penonton juga kembali diajak untuk melakukan kilas balik petualangan pasangan paranormal  Ed dan Lorraine Warren untuk mengungkap kasus supranatural di Enfield tersebut.  Sebuah rumah kecil di Enfield, Inggris,  yang menjadi setting film ini didesain secara lebih artistik untuk membangun kesan horor yang lebih dramatis.

Film The Conjuring 2 diputar serentak di Indonesia bertepatan dengan bulan Ramadhan, di saat para setan-setan jahat justru dibelenggu agar tak mengganggu mereka yang sedang berpuasa. Barangkali karena alasan itu pula, kita jadi penasaran ingin menonton film hantu ini.
Meskipun The Conjuring 2 masih menggunakan gaya lama untuk “menakut-nakuti” penontonnya, akan tetapi setidaknya ada 7 kekuatan visual  gaya horor yang menarik untuk dicatat.  7 kekuatan visual  itu seluruhnya berpusat pada tokoh Janet Hodgson, yaitu:

1.    Kisah Nyata  Janet
Sebuah film horor yang diangkat dari kisah nyata umumnya lebih menarik perhatian, karena penonton diyakinkan bahwa narasi visual yang disajikan bukanlah kisah rekayasa.  Kisah nyata Janet Hudgson, usia 11 tahun, yang kerasukan hebat di rumahnya sendiri, pernah menyita perhatian polisi, dan sejumlah paranormal setempat pada masa itu. Kasus Janet konon menimbulkan pro kontra antara yang percaya dan yang menganggapnya hanya kisah bohong belaka.
2.    Karakter Visual Janet
Janet Hudgson adalah gadis kecil berambut pirang yang biasanya selalu ceria. Namun keceriaan itu mendadak hilang, ketika ia harus mengalami ketakutan luar biasa setiap hari, bahkan setiap detiknya karena dihantui arwah jahat Bill di rumah itu. Dalam kesaksiannya, Janet mengatakan ia selalu diikuti, dibisiki, diangkat, ditarik, dipegang, dan kadang dihempaskan oleh kekuatan yang tidak terlihat.
3.    Ruang Kamar Tidur Janet
Ruang kamar tidur Janet menjadi setting yang natural namun tetap artistik. Ruang ini juga mampu  hadir sebagai saksi bisu, tempat  pergulatan Janet melawan rasa takut menghadapi arwah yang menghantuinya.  Hal ini diperlihatkan melalui penataan tempat tidur yang sederhana, dinding bertempelkan puluhan salib yang berkesan dingin, properti yang bergerak sendiri dan berantakan, dan tentu saja nuansa kegelapan khas film horor.
4.    Dialog Janet
Dialog Janet dengan kakak perempuannya, lalu saat diwawancarai oleh Lorraine Warren, menimbulkan rasa penasaran sekaligus kengerian tersendiri, karena penonton diajak untuk menantikan setiap kata yang terucap dari bibir Janet, dan kata-kata itu bunyinya kerap di luar perkiraan penonton.  
5.    Suara Seram Janet
Suara seram Janet yang keluar saat ia dirasuki oleh sosok lelaki, hantu bernama Bill, dihadirkan dengan nada yang parau, berat, dan kering. Suara seram tersebut mampu menimbulkan imajinasi tentang sosok hantu yang jahat, tak berperikemanusiaan, dan siap membunuh siapa saja.  
6.    Ekspresi Janet
Ekspresi kebanyakan orang Inggris yang datar tidak tercermin pada wajah Janet.  Sebaliknya Janet lebih banyak menampilkan ekspresi kaku, dingin, ketakutan dan ketakberdayaan yang diperlihatkan melalui sorot matanya. Penonton berhasil diajak untuk ikut merasakan sosok kecilnya yang terpuruk, sendirian, sementara tak seorang pun bisa menolongnya.  
7.     Fenomena Poltergeist  Janet
Fenomena poltergeist, berupa benda-benda yang bergerak dan melayang sendiri di dalam ruangan,termasuk tubuh Janet yang berulang kali terangkat oleh kekuatan gaib, menimbulkan ketegangan tersendiri, membuat penonton seperti ikut tertarik, terdorong, dan terhempas dalam ruang kegelapan.

Sebagai tontonan yang dapat memacu detak jantung, membangun ketegangan, dan membuat penonton ikut berhenti bernafas karena ketakutan, maka The  Conjuring 2 cukup berhasil.  

Makna Pandangan atau Tatapan (The Gaze) dalam Budaya Visual

Pernah dilihatin orang nggak?  Terus kita suka bilang, "Apaan lu lihat-lihat?" Gitu, kan? Jangan keliru berucap. Yakin dia se...