Jumat, 30 November 2018

Catatan Orasi Ilmiah di Acara Wisuda ke-65 UNINDRA


MEMAKNAI ENTITAS BUDAYA VISUAL DI MEDIA SOSIAL

Intisari Pesan Orasi Ilmiah di Acara Wisuda UNINDRA ke-65, 31 Oktober 2018
Dr. Winny Gunarti Widya Wardani, M.Ds.

Saat ini, kehidupan masyarakat pada umumnya, dan khususnya di perkotaan, telah mengalami tingkat ketergantungan yang tinggi pada “layar” ruang visual. Gejala-gejala nomophobia atau ketergantungan pada smartphone semakin  mudah ditemukan dan menggejala pada generasi muda. Bahkan sindrom FoMo (Fear of Missing Out) yaitu ketakutan untuk ketinggalan informasi, status terkini, atau segala sesuatu yang perlu di up date, semakin berpotensi menjadi penyakit sosial yang mewabah.
Peradaban manusia saat ini adalah bentuk-bentuk entitas budaya visual yang dihadirkan untuk memuaskan kebutuhannya akan informasi dan hiburan. Pertanyaan mendasar dalam konteks budaya visual, yang mungkin menggelitik sanubari kita sebagai makhluk sosial adalah: pemenuhan "kebahagiaan" seperti apa yang dapat kita temukan dalam kemajuan teknologi visual?  
Dalam arti luas, budaya visual membahas segala sesuatu yang bersifat visual. Budaya visual berperan di dalam pembentukan budaya populer, yaitu suatu aktivitas budaya yang disukai secara massal.  Sedangkan dalam arti yang lebih sempit, budaya visual dibentuk oleh teknologi visual modern seperti televisi, filem, video, permainan virtual, termasuk produk di media sosial seperti instagram, twitter, youtube, facebook, hingga aplikasi pesan instan di ponsel cerdas. Bahkan kini semua artefak budaya visual tersebut dapat diakses hanya melalui perangkat ponsel cerdas. Kita diserbu oleh sensasi bahasa visual. Kita pun menjadi tunduk pada hegemoni teknologi informasi. Kita terjebak di dalam ruang-ruang visual media sosial, menyerap segala sesuatu yang tampak pada layar. Kita sering mengalami kesulitan untuk membuat batasan-batasan moralitas terhadap serbuan informasi yang datang, hingga akhirnya kita cenderung bersikap tidak peduli dan tidak lagi kritis. 
       Bisa dibayangkan betapa padatnya arus bahasa visual di sekeliling kita. Di dalam keseharian kita sebagai pengguna ponsel, tidak jarang terjadi penyebaran secara masif informasi atau gambar/foto dengan muatan yang melanggar kesusilaan, seperti meme-meme yang cenderung melecehkan orang lain, khususnya yang menggunakan objek visual perempuan dan anak-anak. Tidak jarang para pelaku penyebaran informasi dan yang menerima informasi tersebut ikut "terpuaskan" karena menganggap semua itu hanyalah humor belaka. Padahal seharusnya kita bersikap prihatin dan ikut berpikir untuk menghentikannya. 


Penyampaian Orasi Ilmiah di acara Wisuda Unindra ke-65, 2018

Pemerintah juga  telah  mengatur  etika  dalam  berbagi  informasi dan gambar melalui UU ITE, dalam  Undang-Undang  Nomor  19 Tahun  2016 (tentang  perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008) Tentang  Informasi  dan  Transaksi  Elektronik, khususnya  pada  Pasal  45  Ayat  1 yang  berbunyi:  
“Setiap  orang  yang  dengan  sengaja  dan tanpa  hak  mendistribusikan  dan/atau  mentransmisikan  dan/atau  membuat  dapat  diaksesnya informasi elektronik dan/atau  Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  27  ayat  (1)  dipidana  dengan  pidana  penjara  paling lama  6  (enam)  tahun  dan/atau  denda  paling  banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu  miliar rupiah)”,  https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/users/4761/UU%2019%20Tahun%202016.pdf.
Jadilah kita pelaku dan pengguna budaya visual yang cerdas dan bijak. Mari terus mewaspadai dan meningkatkan kesadaran kita tentang bentuk-bentuk entitas budaya visual yang cenderung melahirkan kekerasan simbolik melalui penyebaran informasi di media sosial. Mari membangun kesadaran kita untuk tidak membiarkan pikiran kita terkonstruksi dan dikonstruksi oleh produk-produk budaya yang sebatas memenuhi hasrat sesaat. Sebagai generasi penerus bangsa, kita memiliki tanggung jawab yang besar untuk terus menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang tetap menjaga nilai-nilai kebudayaan dan nilai-nilai keagamaan. Pemenuhan “kebahagiaan” yang dapat kita temukan dalam kemajuan teknologi visual sesungguhnya terletak pada perbuatan-perbuatan kita.

Selasa, 27 November 2018

Catatan dari Pertemuan Forum Diskusi Blogger Bicara

JAKARTA – Forum diskusi Blooger Bicara: Mengawal Kebijakan BPOM Demi Mewujudkan Masyarakat Cerdas pun sempat dilakukan pada Senin (8/10/2018) di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Acara yang di moderatori oleh Maman Suherman dan di hadiri para expert, seperti dr. Eni Gustina, MPH (Direktur Kesehatan Keluarga Direktorat Kesehatan Masyarakat Kemenkes Republik Indonesia), Winny Gunarti Widya Wardani (Pengamat Komunikasi) dan Pratiwi Febry (Peneliti LBH Jakarta). Acara ini mengkritisi kebijakan dari pemerintah dalam hal ini BPOM maupun Kementerian Kesehatan itu sendiri.
SKM ini memang hanya satu dari sebagian macam makanan yang kita konsumsi dan menjadi faktor terjadinya penyakit tidak menular tersebut. Hanya saja jika konsumsi SKM yang berlebih dalam jangka waktu yang lama, bisa saja menjadi faktor teratasnya. Hal ini dapat dijumpai di masyarakat luas, terlebih mereka yang masih belum mengetahui bahwa SKM sebenarnya tidak aman di konsumsi setiap hari terlebih untuk anak-anak.

Seperti yang diketahui surat edaran ini terkesan hanya sebuah teguran saja karena bersifat sementara dan hanya berlaku selama 6 bulan sejak ditandatangani oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan, Suratmono bulan Mei 2018 lalu. Beberapa produsen memang diketahui sudah mematuhi isi dari surat edaran tersebut, walau masih saja ditemukan yang masih membandel terkait kemasan pada SKM.
Jika berbicara sedikit tentang fakta terkait konsumsi SKM, sebenarnya sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka, sekitar tahun 1930-an. Bahkan sebagian besar SKM di tahun 30’an diberikan untuk usia anak-anak. Hal ini yang menyebabkan banyak kasus kematian balita dan anak-anak cukup tinggi. Sejarah dan fakta inilah yang menjadi perhatian para ahli dan pemerhati kesehatan anak, salah satunya Pratiwi Febry, yang juga menjadi salah satu pembicara dalam acara tersebut.
Peneliti dari LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Jakarta ini justru mempertanyakan surat edaran BPOM di tahun 2018 terkait SKM, yang justru tidak sinkron dengan Perka BPOM Nomor 21 Tahun 2016. Bahwa dijelaskan BPOM di Perka tahun 2016 tetap mengkategorikan SKM sebagai susu yang masuk pada bagian dari analognya.
Sedangkan dalam surat edaran di tahun 2018, BPOM mengatakan SKM tidak setara dengan susu jenis lainnya seperti susu sapi, susu pasteurisasi, susu sterilisasi dan susu formula. Hal ini seolah menunjukan inkonsistensi dari BPOM sebagai badan yang menangani masalah pangan nasional.
Tak ingin menjadi boomerang kedepannya, lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia tersebut berharap Kementerian Kesehatan menegur secara tegas Kepala BPOM untuk segera mengevaluasi kategori SKM masuk kedalam kategori susu.
Meskipun pernyataan dr. Eni Gustina, MPH selaku Direktur Kesehatan Keluarga Direktorat Kesehatan Masyarakat Kemenkes RI yang mengatakan pada Perka BPOM tahun 2016, bahwa SKM masuk dalam kategori susu karena memiliki protein sebanyak 7 persen.
Mengenai protein yang terkandung dalam SKM yang hanya 7 persen saja memang dibenarkan Irma Handayani, MPH sebagai Peneliti Dan Pemerhati Dampak Industri Terhadap Kesehatan Bayi Dan Anak adalah protein yang didapatkan dari hewani yang merujuk kepada susu.
Namun kandidat doktor Kesehatan Masyarakat dan Perilaku Universitas Columbia AS ini tetap tidak membenarkan pengkonsumsian secara rutin terlebih dengan cara yang terdapat dalam kemasan SKM maupun hanya sebagai toping saja karena mengandung gula sebanyak lebih dari 50 persen.
Pernyataan serupa juga sempat diungkapkan peneliti lainnya yaitu Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MSc selaku Ketua Pembina MPGKI. Beliau mengatakan bahwa SKM ini bisa masuk dalam 10 besar kategori pangan yang mengandung kandungan gula tinggi.
Pernyataan para ahli ini yang juga diiyakan Pratiwi Febry dan ikut menyuarakan bahwa SKM bukanlah jenis pangan dalam kategori susu. Untuk itu dirinya bersama para blogger dan pemerhati kesehatan masyarakat berharap ada tindakan lanjutan yang berfokus pada edukasi kepada masyarakat terlebih mereka yang memang tidak mengetahui bahaya SKM jika di konsumsi berlebih.
Pratiwi Febry tidak ingin kejadian di wilayah NTT (Nusa Tenggara Timur) terkait SKM terjadi pula dengan wilayah dan masyarakat lainnya di Indonesia. Sesuai fakta dari Kementerian Kesehatan bahwa di wilayah NTT hampir 100 persen ibu yang selesai memberikan ASI eksklusif langsung menyodorkan anaknya dengan SKM. Hal ini sudah berlangusng cukup lama dan tak heran jika NTT sebagai wilayah di Indonesia dengan kasus stunting tertinggi.
Banyak yang menjadi faktor penyebab kasus seperti ini terjadi di wilayah NTT. Sebut saja dalam hal pendidikan, di wilayah NTT 100 persen pendidikan yang diterima ibu-ibu hanya sebatas SD (Sekolah Dasar) bahkan banyak pula yang tidak tamat. Faktor lainnya kurangnya informasi yang diterima masyarakat khususnya orang tua dari pihak-pihak terkait terlebih pemerintah yang memiliki fakta dan program akan hal tersebut.
Seputar SKM atau Susu Kental Manis memang sebenarnya tidak akan pernah ada habisnya untuk dibahas. Jika pihak yang terkait didalamnya tidak ada niat untuk saling bekerja sama menemukan titik cerah. SKM atau Susu Kental Manis ini memang bukan makanan yang berbahaya secara langsung saat pertama kali di konsumsi tetapi lambat laun pengaruh yang terkandung didalamnya yang sesuai fakta adalah gula, yang justru menimbulkan efek penyakit yang lebih berbahaya dan tidak menular seperti jantung, diabetes dan lainnya. (Kurnia)

Sumber: http://sinarharapan.net/2018/10/peneliti-lbh-berharap-kementerian-kesehatan-menegur-bpom-evaluasi-skm/

Makna Pandangan atau Tatapan (The Gaze) dalam Budaya Visual

Pernah dilihatin orang nggak?  Terus kita suka bilang, "Apaan lu lihat-lihat?" Gitu, kan? Jangan keliru berucap. Yakin dia se...