Minggu, 19 April 2020

Makna Pandangan atau Tatapan (The Gaze) dalam Budaya Visual


Pernah dilihatin orang nggak? Terus kita suka bilang, "Apaan lu lihat-lihat?" Gitu, kan?
Jangan keliru berucap. Yakin dia sekadar melihat? Jangan-jangan dia bukan "melihat", melainkan "memandang". Pandangan adalah tatapan yang dalam, sebagai proses untuk menerjemahkan pesan. Di dalam konteks kepenontonan budaya visual, "melihat" dan "memandang" memiliki ciri yang berbeda, dan seorang desainer dituntut untuk memiliki kemampuan membangun keduanya melalui karya visual.


Dalam konsep kepenontonan (spectatorship), kegiatan memandang/menatap (gaze) menjadi salah satu cirinya. Pandangan/tatapan (the gaze) adalah bagian dari aktivitas manusia untuk menerjemahkan dan memahami makna yang ditangkapnya melalui indera penglihatan. Pemahaman tentang  makna pandangan/tatapan dalam budaya visual menghasilkan perbedaan sudut pandang dalam konteks gender, dan juga "kekuasaan" (power) serta "kesenangan" (pleasure) secara visual.
Sebelum membahas persoalan "pandangan/tatapan", ada tiga hal penting yang harus dipahami terlebih dahulu, yaitu pengertian dari budaya visual (visual culture), visualisasi (visualizing), kekuasaan visual dan kesenangan visual (visual power and visual pleasure)

Budaya Visual:
Menurut Nicholas Mirzoeff: Budaya visual (visual culture) berkaitan dengan peristiwa visual di mana informasi, makna, atau kesenangan dicari oleh konsumen dalam antarmuka dengan teknologi visual.

Visualisasi:
Visualisasi (visualizing) dalam praktiknya adalah kecenderungan yang berkembang untuk memvisualisasikan hal-hal yang tidak "terlihat". Menurut François Quesnay: Prinsip visualisasi secara umum, tidak menggantikan wacana, tetapi membuatnya lebih komprehensif, lebih cepat, dan lebih efektif. Saat ini, aktivitas visualisasi melalui komputer telah menghasilkan rasa kegembiraan baru dengan adanya kemungkinan-kemungkinan visual yang dapat dikembangkan, sehingga budaya visual menjadi hal baru karena fokusnya lebih kepada visual sebagai tempat di mana makna dibuat dan diperebutkan. Di dalam konteks visualisasi, salah satu tugas utama budaya visual adalah memahami bagaimana gambar-gambar yang kompleks bersatu dan dapat menghasilkan gagasan yang baru.

Kekuasaan Visual dan Kesenangan Visual
Salah satu ciri khas dari kekuasaan visual (visual power) adalah adanya dominasi ide melalui gambar yang memberi pengaruh pada opini publik. Kekuasaan visual membangun persepsi tertentu yang berdampak pada budaya massa.
Sedangkan kesenangan visual (visual pleasure) adalah munculnya kesenangan atau kepuasan saat mengonsumsi produk-produk visual, di mana selama proses konsumsi visual tersebut dimungkinkan terbangunnya sistem kepercayaan dan kelas, serta munculnya kesadaran palsu (false consciousness). Plato percaya bahwa benda-benda yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, termasuk manusia, hanyalah salinan buruk dari cita-cita sempurna benda-benda itu. Dengan kata lain, semua yang kita lihat di dunia "nyata" melalui media, sebenarnya adalah sebuah "salinan" yang dipercaya dapat mendatangkan kesenangan.
   
Ciri Budaya Visual
-  Ada dominasi unsur visual
-  Ada aktivitas melihat (vision)
-  Ada kepenontonan (spectatorship)
            • melihat (look),
            • menonton (spectacle),
            • memandang/menatap (gaze),
            • mengintai (surveilance),
            • mengintip (peep),
            • memata-matai (spying),
            • mengamati (observation)

The Gaze = memandang/menatap secara dalam
Teori ini dikemukakan pertama kali oleh seorang psikoanalisis Jacques Lacan yang berargumen bahwa “memandang” atau "menatap" merupakan refleksi dari “keinginan”.
Ketika kita menginginkan sesuatu, maka kita tidak hanya melihat hal tersebut, tetapi kita akan "memandang/menatap" nya dalam-dalam, bukan sekadar melihat.

Michel Foucault kemudian menambah konsep pandangan atau tatapan dengan teorinya terkait “kekuasaan” di mana “memandang/menatap” merupakan suatu bentuk observasi atas kekuasaan.
Kita pun menjadi objek dari pandangan/tatapan kita sendiri, secara konstan memonitor kelakuan, badan, dan perasaan kita berdasarkan apa yang kita pandang dan menjadi referensi di benak kita.

Teori Foucault tersebut pun bertemu dengan politik gender dan feminisme yang membagi pandangan menjadi dua:
The Male Gaze, yaitu ketika masyarakat memandang/menatap objek visual melalui sudut pandang laki-laki. Dalam hal ini, pada umumnya melihat sesuatu secara sensual
The Female Gaze, yaitu ketika masyarakat memandang/menatap objek visual melalui sudut pandang perempuan. Dalam hal ini, pada umumnya melihat sesuatu secara emosional

Male Gaze vs Female Gaze
Seorang teoritikus film feminis, Laura Mulvey mencetuskan gagasan tentang Male Gaze yang kemudian menuai respon dari para feminis dengan mengemukakan teori Female Gaze. Menurut Laura Mulvey, "pandangan/tatapan laki-laki" dalam film, mewakili pandangan/tatapan penonton laki-laki dan juga karakter laki-laki dari pencipta filmnya. Namun, di masa kini, oposisi biner (konsep yang memiliki makna berlawanan) antara laki-laki versus perempuan sudah mulai dicoba dihapus untuk mencapai kesetaraan gender.

Perbedaan sudut pandang antara Male Gaze vs Female Gaze ini memunculkan 3 implikasi penting dalam analisis visual, yaitu:
-  Bagaimana laki-laki memandang/menatap perempuan
-  Bagaimana perempuan memandang/menatap dirinya
-  Bagaimana perempuan memandang/menatap perempuan lain

Memandang/menatap adalah sesuatu yang penting dalam berkomunikasi. Memandang/menatap merupakan konstruksi Bahasa Visual yang muncul untuk membantu kita menginterpretasikan interaksi-interaksi sosial dan komunikasi dalam media. Memahami bagaimana audiens memandang/menatap akan memudahkan desainer untuk merancang karya visual yang efektif dalam menyampaikan pesan

Pandangan/tatapan juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh "Mitos".
Dikemukakan oleh Roland Barthes, mitos muncul Ketika makna konotasi bertahan sekian lama di masyarakat sehingga dianggap sebagai suatu makna denotasi (makna real).

Konsep Dasar Mitos:
Bagi Barthes, mitos merupakan cara berpikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu; cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu. Bila konotasi merupakan pemaknaan tatanan kedua dari penanda (signifier), maka mitos merupakan pemaknaan tatanan kedua dari petanda (signified).


Dengan demikian, keterkaitan antara "Pandangan/tatapan" dan "Mitos", bisa dilihat dari contoh-contoh berikut, di mana pandangan/tatapan membantu mempertahankan makna konotasi di masyarakat. Ketika makna konotasi sudah dianggap sebagai hal yang wajar, ketika itu juga mitos mewujud dan berkembang.


Dalam hal ini, peran desainer menjadi penting karena desainer mampu mengatur pandangan/tatapan masyarakat dan memunculkan mitos-mitos baru melalui media visual kontemporer. Mengatur pandangan/tatapan masyarakat dapat diartikan sebagai upaya membangun persepsi tertentu melalui karya-karya desain.

Selasa, 07 April 2020

Teknik Analisis Film Menggunakan Prinsip Tata Bahasa Visual (Visual Grammar)


Suka nonton film?
Pada saat menonton film, apa sebenarnya yang kita tonton? Dan mengapa tontonan tersebut membuat penonton ikut terhanyut dengan adegan yang ditampilkan?

Daya tarik sebuah film adalah sebuah konstruksi, yaitu desain yang dibentuk dari elemen-elemen visual.  Di dalamnya ada sebuah tata bahasa visual yang mampu membentuk pesan atau merepresentasikan makna tertentu.

Apa yang dimaksud dengan Tata Bahasa Visual?
Christian Leborg (2006), menyebutkan 4 unsur penting di dalam Tata Bahasa Visual (Visual Grammar), yaitu:
1. Objek : Elemen dasar yang harus kita kerjakan. Bisa abstrak atau konkret
2. Struktur/Susunan : Pola yang terbentuk dari elemen dasar. Bisa abstrak atau konkret
3. Aktivitas : Proses yang dapat diwakili dengan elemen dan pola dasar
4. Relasi-Relasi : Hubungan antara objek, pola, dan proses. Itu adalah cara segala sesuatu dalam desain berhubungan satu sama lain dan dengan pemirsa

Tata Bahasa Visual dapat diterapkan pada produk-produk desain untuk media Televisi, Film, dan Video, di antaranya dengan mengolah aspek-aspek berikut:

1. Ukuran pengambilan gambar (Shot Sizes)
Wide Shot (WS)
- Kamera menyorot jauh
- Menangkap banyak hal
dalam adegan
- Memberikan tampilan tata letak adegan
- Membangun gambar
- Bisa menampilkan seluruh tubuh dan banyak karakter
Medium Shot (MS)
-  Kamera memperlihat bagian    kepala hingga pinggul
-  Menampilkan sebagian latar
-  Menampilkan satu atau interaksi dua karakter
Medium Close Up (MCU)
-    Penampilan klasik untuk wawancara.
-    Memperlihatkan kepala dan bahu
-    Cukup dapat menampilkan ekspresi wajah
Close Up (CU)
-   Lebih dekat menampilkan ekspresi wajah, lebih dramatis, lebih intim
-   Tidak membutuhkan banyak  editing
Extreme Close Up (ECU)
-   Menampilkan detail
-   Fokus pada subjek, seperti pada matanya, tangannya, bibirnya

2. Pembingkaian ruang visual (Framing)
Aturan per tiga  (The Rule of Thirds):  mengkomposisikan gambar ke dalam per tiga grid imajiner, baik secara vertical maupun horisontal
Framing Kiri (left) : Melihat ke arah kamera atau tidak melihat ke arah kamera
Framing Tengah (center)
Framing Kanan (right)
Full Frame: Gambar penuh, atau gambar berada di sisi kiri dan kanan

3. Efek pengambilan gambar (Shooting for Impact)
Dua hal penting yang perlu dipertimbangkan (White, 2009):
Jarak dan perspektif (distance and perspective), yaitu adegan atau peristiwa di dalam scene digambarkan dengan kualitas jarak dan perspektif. Gambar dapat tampil kuat dan menarik dengan latar depan yang jelas, dalam jarak menengah, dan perspektif jauh.
Fokus perhatian ( focus of attention), yaitu adegan atau peristiwa yang penting harus menjadi fokus perhatian. Pastikan adegan atau peristiwa utama dapat dilihat.

Pada efek pengambilan gambar, tampilan ruang visual dapat  dilihat berdasarkan perspektif ruang (Block, 2008):
One-Point Perspective, yaitu Penonton diajak untuk mengarahkan pandangannya pada satu titik habis perspektif  (vanishing point= VP).
Two-Point perspective, yaitu tipe tampilan dengan dua titik habis perspektif (VP).
Three-Point Perspective, yaitu tipe tampilan dengan tiga titik habis perspektif (VP), umumnya latar dalam perspektif dari atas atau dari bawah objek tontonan, serta dari kiri dan  kanan objek.

4. Sekuen (Sequences)
Sekuen (Sequences) adalah: Scene-scene yang disusun menjadi satu kesatuan, menjadi suatu kejadian utuh. Sekuen memperlihatkan kejadian aksi pada layar dari beberapa pengambilan gambar yang berbeda.  Misalnya:   Seorang lelaki mencopet -lelaki itu lari ke atas jembatan - Orang-orang lari mengejar sang pencopet
Sekuen terdiri dari: Scene-scene pendahuluan - Scene-scene tengah - Scene-scene akhir. Tujuan dari alurnya adalah membangun rasa keterlibatan penonton terhadap tontonan


Berikut adalah sebuah Film Pendek berjudul "Perspektif Terbalik", film yang meraih predikat BEST MOVIES HELLOFEST 2014. https://www.youtube.com/watch?v=MWQuQn8d1S8 Film ini menerapkan keempat aspek di dalam pengolahan tata bahasa visual yang melibatkan unsur objek, struktur, aktivitas, dan relasi.

Silakan dianalisis:
1. Pada ukuran pengambilan gambar, terdapat shot sizes apa saja, dan jelaskan adegan apa.
2. Pada pembingkaian ruang visual, menggunakan framing apa, dan jelaskan adegan apa.
3. Pada efek pengambilan gambar, menggunakan perspektif apa, dan jelaskan adegan apa
4. Pada sekuen, jelaskan adegan apa yang termasuk scene pendahuluan, tengah, dan akhir.

Hasil analisis diketik dalam format Word A4, Time New Roman, 1 spasi, dan dikirim ke email: winnygw@yahoo.com, paling lambat hari Minggu, tanggal 12 April 2020. Tugas analisis ini untuk penilaian UTS MK Desain dan Media. 


Senin, 06 April 2020

Catatan Perjalanan Penelitian Tahun Pertama PDUPT ke Situs Gunung Padang Cianjur


Tahun 2019, Tim Peneliti PDUPT (Dirjen Dikti) dari Prodi DKV Universitas Indraprasta PGRI, yang terdiri dari Winny Gunarti WW, Wulandari, dan Syahid, memulai rangkaian perjalanan penelitian ke Situs Gunung Padang yang terletak di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Tujuan dari penelitian ini adalah merancang buku foto dan mempublikasikan hasil penelitian ke jurnal nasional maupun internasional. Buku foto dalam penelitian ini dirancang menggunakan tiga genre fotografi, yaitu genre still life, landscape, dan story. Melalui karya fotografi, Tim Peneliti berupaya memvisualisasikan pesan budaya sebagai bentuk kreativitas dan partisipasi melestarikan peninggalan sejarah situs di Zaman Megalitikum. Karya seni foto pada dasarnya memiliki potensi untuk menghadirkan “kisah” di balik objek foto dan mampu mengajak pembacanya berinteraksi

https://www.youtube.com/watch?v=T6m6lSZ3ZMI&t=3s


Berikut adalah catatan perjalanan penelitian kami selama bulan April-September 2019:  
1. Tim Peneliti mengikuti kegiatan Photo Book Workshop yang diselenggarakan oleh JIPFest bersama Teun van der Heijden dan Sandra van der Doelen, tanggal 28 Juni-2 Juli. Dummy buku foto tersebut kemudian dipamerkan pada Jakarta International Photo Festival (JIPFest), sebuah kegiatan tahunan fotografi internasional hasil kerjasama PannaFoto Institute, Yayasan Tifa,   World Press Photo dan Cohive. JIPFest tahun 2019 yang diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki, berlangsung dari tanggal 25 Juni-9 Juli dengan tema “Identitas”.

2. Tim Peneliti berhasil mewawancari kurator Louise Wolthers di Hasselblad Foundation, Swedia, dan memperoleh kesempatan untuk mengunjungi Hasselblad Library, serta menyerahkan Buku Foto “Still Life at Gunung Padang Site” untuk menjadi bagian dari koleksi buku foto di perpustakaan tersebut. Hasselblad Foundation yang beralamat di Ekmansgatan 8 SE 412 56 Göteborg, Sweden, adalah yayasan nirlaba yang bergerak di bidang publikasi, penelitian, dan penghargaan terhadap karya-karya fotografi. Yayasan Erna dan Victor Hasselblad didirikan pada tahun 1979 dengan tujuan mempromosikan penelitian dan pengajaran akademik dalam ilmu alam serta fotografi.

3. Tim Peneliti mengunjungi Fotografiska, untuk melihat pameran dari fotografer Vincent Peters, Scarlett Hoof Graafland, Mandy Barker, James Nachtwey, dan Refik Anadol. Saat itu, kebetulan sedang ada  koleksi "Memoria" James Nachtwey, jurnalis fotografer Amerika Serikat yang karya-karyanya selalu ditunggu mata dunia. Fotografiska adalah tempat pertemuan fotografi internasional. Museum ini secara rutin menyelenggarakan pameran. Ruang pameran seluas 2.500 meter persegi, dan menampilkan empat pameran besar per tahun, dan sekitar 15-20 pameran kecil. Fotografiska dibuka pertama kali tahun 2010 dan menjadi tempat atraksi fotografika yang populer. Setiap tahunnya, museum fotografi ini dikunjungi oleh lebih dari 500.000 pengunjung mancanegara. Fotografiska, The Museum of Photography  beralamat di Stadsgardshamnen 22, Stockholm.

4. Observasi berikutnya, Tim Peneliti mengunjungi The Röhsska Museum, Museum of Design and Craft yang berlokasi di Vasagatan 37-39,Göteborg, Sweden. Museum ini menampilkan sejarah desain antara tahun 1800-2010, melalui contoh-contoh desain dan kriya pada masanya, mulai dari furnitur, fesyen, poster, tekstil, keramik, penjilid buku, potongan kayu Jepang, dan desain industri. Museum Röhsska adalah satu-satunya museum di Swedia yang berspesialisasi dalam desain dan kerajinan sejak 1916, mulai dari desain kontemporer hingga keramik Cina berumur beberapa ribu tahun. Benda-benda dalam koleksi museum bercerita tentang kreativitas, ekspresi, gaya, mode, dan cita-cita artistik selama era yang berbeda.

5. Selanjutnya, Tim Peneliti mengikuti kegiatan diskudi buku foto “Still Life at Gunung Padang Site”di Gueari Galeri. Diskusi buku foto Situs Gunung Padang dibawakan oleh Wulandari pada tanggal 30 Agustus 2019, sebagai hasil dari Workshop di JIPFest beberapa waktu lalu. Gueari Galeri adalah komunitas fotografi yang diprakarsai oleh Andi Ari Setiadi. Galeri ini berlokasi di komplek kios Pasar Modern Santa di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Gueari Galeri tidak hanya memamerkan berbagai koleksi buku foto dari karya fotografer nasional maupun internasional, tetapi juga sering menggelar kegiatan diskusi dan sebagai penerbit.  

6. Tim Peneliti telah berhasil mempublikasikan hasil penelitian tahun pertama ini ke sejumlah jurnal nasional dan internasional, yaitu:
Journal of Arts and Humanities (ISSN 2167-9045-print, ISSN 2167-9053-Online), Vol. 8 No 10, October 2019, https://www.theartsjournal.org/index.php/site/article/view/1753
Jurnal Mudra, Jurnal Seni dan Budaya, Vol 34 No. 3, September 2019, Terakreditasi SINTA 2 https://jurnal.isi-dps.ac.id/index.php/mudra/article/view/689
Jurnal Antropologi (Jantro): Isu-Isu Sosial Budaya, Vol 21 No. 2,  Desember 2019, Terakreditasi SINTA 2 , http://jurnalantropologi.fisip.unand.ac.id/index.php/jantro
Jurnal Muara: Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni, Vol. 3 No. 1, April 2019, Terakreditasi SINTA 4, http://journal.untar.ac.id/index.php/jmishumsen/article/view/3451
 IJASTE – International Journal of Applied Sciences in Tourism and Events Vol.3 No.2 December 2019, Terakreditasi SINTA 3 http://ojs.pnb.ac.id/index.php/IJASTE/article/view/1459


Makna Pandangan atau Tatapan (The Gaze) dalam Budaya Visual

Pernah dilihatin orang nggak?  Terus kita suka bilang, "Apaan lu lihat-lihat?" Gitu, kan? Jangan keliru berucap. Yakin dia se...