Jumat, 17 Desember 2010

Resensi Buku Putri Ong Tien di Koran Jakarta


EDISI 861 - 13 NOVEMBER 2010, HALAMAN 4-5.

Kisah mengenai Ong Tien sudah sudah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia. Malah, kisah mengenai putri yang berasal dari negeri Tiongkok ini memiliki tempat tersendiri dalam sejarah perkembangan Islam di Nusantara, khususnya di Jawa barat.

Kehadiran novel ini seakan menyegarkan ingatan kita kembali bahwa perkembangan Islam di Nusantara memlilki banyak warna, sehingga amat sulit untuk mengatakan bahwa Islam adalah sebuah agama yang berkembang karena dirinya sendiri, melainkan ada banyak faktor yang mendukungnya, mulai dari aspek kultural hingga politis.

Dalam buku ini dikisahkan bagaimana kisah Ong Tien untuk pertama kalinya bertemu dengan Syarif Hidayatullah yang tidak lain adalah Sunan Gunung Jati, ulama terkemuka penyebar Islam di Pulau Jawa. Saat itu, tabib Syarif Hidayatullah diundang untuk mengunjungi istana kaisar Hong Gie.

Pada kesempatan itu terjadilah peristiwa “legenda” bokor kuningan yang berujung pada keputusan Ong Tien untuk menemui tabib Syarif Hidayatullah yang berada di Pulau Jawa. Perjalanan yang penuh bahaya itu berhasil dilalui. Putri Ong Tien akhirnya bertemu dengan Syarif Hidayatullah, menikah dengannya, memeluk Islam, dan mempelajari Islam dengan lebih mendalam.

Hingga akhir hayatnya Putri Ong Tien digambarkan sebagai perempuan yang patuh kepada suami sebagai kepala keluarga. Apa yang dikatakan oleh sang suami selalu menjadi kekuatan baginya untuk menghadapi konfl ik batinnya, termasuk ketika keinginannya untuk memperoleh keturunan tidak dikabulkan oleh Tuhan. Salah satu kekuatan buku ini adalah kayanya sumber sejarah yang dijadikan rujukan oleh penulisnya.

Hal ini menjadikan kisah Putri Ong Tien tidak kering. Bahkan ada kesan bahwa buku ini menjadi sebuah novel sejarah. Harus diakui, menyatukan fakta historis dalam sebuah novel bukan hal gampang. Kepiawaian penulis untuk menyatukan pecahan puzzle sejarah menjadi sebuah alur cerita yang menarik dan bernas menjadi sebuah keharusan.

Penulis buku ini, Winny Gunarti, tampaknya memiliki kemampuan tersebut. Sayangnya, “penempelan” fakta historis tersebut tidak selalu mulus, sehingga ada kesan fakta tersebut benar-benar sebuah informasi tambahan dan tidak menjadi bagian yang menyatu dalam keseluruhan novel. Barangkali, hal itu disebabkan oleh cara penyampaian fakta yang dilakukan dengan gaya sebuah feature atau karangan khas.

Feature sendiri merupakan genre tulisan jurnalistik. Jika saja penempelan fakta tersebut dilakukan dengan gaya yang lebih sastrawi, maka fakta tersebut akan terasa lebih “menyatu”. Catatan lain mengenai novel ini adalah tidak terbangunnya konflik dan kedalaman kisah. Padahal, cerita mengenai Ong Tien sangatlah menarik.

Jika saja penulis buku ini berani melakukan reinterpretasi fakta sejarah seputar kisah Ong Tien, niscaya novel ini akan lebih mengasyikkan. Sebut saja dengan memperdalam intrik politik dalam istana terkait hukuman yang dijatuhkan kepada selir kaisar ataupun konflik batin istri-istri Sunan Gunung Jati ketika Ong Tien masuk dalam kehidupan mereka. Pendalaman ini pasti akan membuat novel ini tampil lebih menarik lagi.
http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=67683
http://issuu.com/koran_jakarta/docs/edisi_861_-_13_november_2010/4

Peresensi adalah Nigar Pandrianto, pemerhati buku, tinggal di Jakarta 

5 komentar:

  1. hai, salam kenal ^^!

    kalau ada waktu, mampir ya....
    thank u.

    BalasHapus
  2. Damai,
    damailah burung-burung,
    damailah manuk-manuk.
    Salam kenal mbak Winny Gunarti.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ibrahimi, terima kasih...mohon maaf, saya baru mampir...salam kenal kembali.

      Hapus
  3. mengingatkan kembali warna sejarah spiritual dan culture Indonesia.
    masih tersedia gak bu, buku-bukunya?

    BalasHapus

Makna Pandangan atau Tatapan (The Gaze) dalam Budaya Visual

Pernah dilihatin orang nggak?  Terus kita suka bilang, "Apaan lu lihat-lihat?" Gitu, kan? Jangan keliru berucap. Yakin dia se...