MEMAKNAI ENTITAS BUDAYA VISUAL DI MEDIA
SOSIAL
Intisari Pesan Orasi Ilmiah di Acara Wisuda UNINDRA ke-65, 31 Oktober 2018
Dr. Winny Gunarti Widya Wardani, M.Ds.
Saat ini, kehidupan masyarakat pada umumnya,
dan khususnya di perkotaan, telah mengalami tingkat ketergantungan yang tinggi
pada “layar” ruang visual. Gejala-gejala nomophobia
atau ketergantungan pada smartphone
semakin mudah ditemukan dan menggejala
pada generasi muda. Bahkan sindrom FoMo (Fear
of Missing Out) yaitu ketakutan untuk ketinggalan informasi, status
terkini, atau segala sesuatu yang perlu di up
date, semakin berpotensi menjadi penyakit sosial yang mewabah.
Peradaban manusia saat ini adalah bentuk-bentuk
entitas budaya visual yang dihadirkan untuk memuaskan kebutuhannya akan
informasi dan hiburan. Pertanyaan mendasar dalam konteks budaya visual, yang mungkin menggelitik sanubari kita sebagai makhluk sosial adalah: pemenuhan "kebahagiaan" seperti apa yang dapat kita temukan dalam kemajuan teknologi visual?
Dalam arti luas, budaya
visual membahas segala sesuatu yang bersifat visual. Budaya visual berperan di
dalam pembentukan budaya
populer, yaitu suatu aktivitas budaya yang disukai secara massal. Sedangkan dalam arti yang lebih sempit, budaya
visual dibentuk oleh teknologi visual modern seperti televisi, filem, video, permainan
virtual, termasuk produk di media sosial seperti instagram, twitter, youtube, facebook, hingga aplikasi pesan instan di ponsel cerdas. Bahkan kini semua artefak budaya visual tersebut dapat
diakses hanya melalui perangkat ponsel cerdas. Kita diserbu oleh sensasi bahasa
visual. Kita pun menjadi tunduk pada hegemoni teknologi informasi. Kita
terjebak di dalam ruang-ruang visual media sosial, menyerap segala sesuatu yang
tampak pada layar. Kita sering mengalami kesulitan untuk membuat
batasan-batasan moralitas terhadap serbuan informasi yang datang, hingga
akhirnya kita cenderung bersikap tidak peduli dan tidak lagi kritis.
Bisa dibayangkan betapa padatnya arus bahasa visual di sekeliling kita. Di dalam keseharian kita sebagai pengguna ponsel, tidak jarang terjadi penyebaran secara masif informasi atau gambar/foto dengan muatan yang melanggar kesusilaan, seperti meme-meme yang cenderung melecehkan orang lain, khususnya yang menggunakan objek visual perempuan dan anak-anak. Tidak jarang para pelaku penyebaran informasi dan yang menerima informasi tersebut ikut "terpuaskan" karena menganggap semua itu hanyalah humor belaka. Padahal seharusnya kita bersikap prihatin dan ikut berpikir untuk menghentikannya.
Bisa dibayangkan betapa padatnya arus bahasa visual di sekeliling kita. Di dalam keseharian kita sebagai pengguna ponsel, tidak jarang terjadi penyebaran secara masif informasi atau gambar/foto dengan muatan yang melanggar kesusilaan, seperti meme-meme yang cenderung melecehkan orang lain, khususnya yang menggunakan objek visual perempuan dan anak-anak. Tidak jarang para pelaku penyebaran informasi dan yang menerima informasi tersebut ikut "terpuaskan" karena menganggap semua itu hanyalah humor belaka. Padahal seharusnya kita bersikap prihatin dan ikut berpikir untuk menghentikannya.
Penyampaian Orasi Ilmiah di acara Wisuda Unindra ke-65, 2018 |
Pemerintah
juga telah mengatur
etika dalam berbagi
informasi dan gambar melalui UU ITE, dalam Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2016 (tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008) Tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik, khususnya pada
Pasal 45 Ayat 1
yang berbunyi:
“Setiap
orang yang dengan
sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang
melanggar kesusilaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27
ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam)
tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah)”, https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/users/4761/UU%2019%20Tahun%202016.pdf.
Jadilah kita pelaku dan pengguna budaya
visual yang cerdas dan bijak. Mari terus mewaspadai dan meningkatkan kesadaran
kita tentang bentuk-bentuk entitas budaya visual yang cenderung
melahirkan kekerasan simbolik melalui penyebaran informasi di media sosial. Mari
membangun kesadaran kita untuk tidak membiarkan pikiran kita terkonstruksi dan
dikonstruksi oleh produk-produk budaya yang sebatas memenuhi hasrat sesaat.
Sebagai generasi penerus bangsa, kita memiliki tanggung jawab yang besar untuk
terus menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang tetap menjaga nilai-nilai
kebudayaan dan nilai-nilai keagamaan. Pemenuhan “kebahagiaan” yang dapat kita
temukan dalam kemajuan teknologi visual sesungguhnya terletak pada perbuatan-perbuatan
kita.