JAKARTA – Forum diskusi Blooger Bicara: Mengawal Kebijakan BPOM Demi Mewujudkan Masyarakat Cerdas pun sempat dilakukan pada Senin (8/10/2018) di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Acara yang di moderatori oleh Maman Suherman dan di hadiri para expert, seperti dr. Eni Gustina, MPH (Direktur Kesehatan Keluarga Direktorat Kesehatan Masyarakat Kemenkes Republik Indonesia), Winny Gunarti Widya Wardani (Pengamat Komunikasi) dan Pratiwi Febry (Peneliti LBH Jakarta). Acara ini mengkritisi kebijakan dari pemerintah dalam hal ini BPOM maupun Kementerian Kesehatan itu sendiri.
SKM ini memang hanya satu dari sebagian macam makanan yang kita konsumsi dan menjadi faktor terjadinya penyakit tidak menular tersebut. Hanya saja jika konsumsi SKM yang berlebih dalam jangka waktu yang lama, bisa saja menjadi faktor teratasnya. Hal ini dapat dijumpai di masyarakat luas, terlebih mereka yang masih belum mengetahui bahwa SKM sebenarnya tidak aman di konsumsi setiap hari terlebih untuk anak-anak.
Seperti yang diketahui surat edaran ini terkesan hanya sebuah teguran saja karena bersifat sementara dan hanya berlaku selama 6 bulan sejak ditandatangani oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan, Suratmono bulan Mei 2018 lalu. Beberapa produsen memang diketahui sudah mematuhi isi dari surat edaran tersebut, walau masih saja ditemukan yang masih membandel terkait kemasan pada SKM.
Seperti yang diketahui surat edaran ini terkesan hanya sebuah teguran saja karena bersifat sementara dan hanya berlaku selama 6 bulan sejak ditandatangani oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan, Suratmono bulan Mei 2018 lalu. Beberapa produsen memang diketahui sudah mematuhi isi dari surat edaran tersebut, walau masih saja ditemukan yang masih membandel terkait kemasan pada SKM.
Jika berbicara sedikit tentang fakta terkait konsumsi SKM, sebenarnya sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka, sekitar tahun 1930-an. Bahkan sebagian besar SKM di tahun 30’an diberikan untuk usia anak-anak. Hal ini yang menyebabkan banyak kasus kematian balita dan anak-anak cukup tinggi. Sejarah dan fakta inilah yang menjadi perhatian para ahli dan pemerhati kesehatan anak, salah satunya Pratiwi Febry, yang juga menjadi salah satu pembicara dalam acara tersebut.
Peneliti dari LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Jakarta ini justru mempertanyakan surat edaran BPOM di tahun 2018 terkait SKM, yang justru tidak sinkron dengan Perka BPOM Nomor 21 Tahun 2016. Bahwa dijelaskan BPOM di Perka tahun 2016 tetap mengkategorikan SKM sebagai susu yang masuk pada bagian dari analognya.
Sedangkan dalam surat edaran di tahun 2018, BPOM mengatakan SKM tidak setara dengan susu jenis lainnya seperti susu sapi, susu pasteurisasi, susu sterilisasi dan susu formula. Hal ini seolah menunjukan inkonsistensi dari BPOM sebagai badan yang menangani masalah pangan nasional.
Tak ingin menjadi boomerang kedepannya, lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia tersebut berharap Kementerian Kesehatan menegur secara tegas Kepala BPOM untuk segera mengevaluasi kategori SKM masuk kedalam kategori susu.
Meskipun pernyataan dr. Eni Gustina, MPH selaku Direktur Kesehatan Keluarga Direktorat Kesehatan Masyarakat Kemenkes RI yang mengatakan pada Perka BPOM tahun 2016, bahwa SKM masuk dalam kategori susu karena memiliki protein sebanyak 7 persen.
Mengenai protein yang terkandung dalam SKM yang hanya 7 persen saja memang dibenarkan Irma Handayani, MPH sebagai Peneliti Dan Pemerhati Dampak Industri Terhadap Kesehatan Bayi Dan Anak adalah protein yang didapatkan dari hewani yang merujuk kepada susu.
Namun kandidat doktor Kesehatan Masyarakat dan Perilaku Universitas Columbia AS ini tetap tidak membenarkan pengkonsumsian secara rutin terlebih dengan cara yang terdapat dalam kemasan SKM maupun hanya sebagai toping saja karena mengandung gula sebanyak lebih dari 50 persen.
Pernyataan serupa juga sempat diungkapkan peneliti lainnya yaitu Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MSc selaku Ketua Pembina MPGKI. Beliau mengatakan bahwa SKM ini bisa masuk dalam 10 besar kategori pangan yang mengandung kandungan gula tinggi.
Pernyataan para ahli ini yang juga diiyakan Pratiwi Febry dan ikut menyuarakan bahwa SKM bukanlah jenis pangan dalam kategori susu. Untuk itu dirinya bersama para blogger dan pemerhati kesehatan masyarakat berharap ada tindakan lanjutan yang berfokus pada edukasi kepada masyarakat terlebih mereka yang memang tidak mengetahui bahaya SKM jika di konsumsi berlebih.
Pratiwi Febry tidak ingin kejadian di wilayah NTT (Nusa Tenggara Timur) terkait SKM terjadi pula dengan wilayah dan masyarakat lainnya di Indonesia. Sesuai fakta dari Kementerian Kesehatan bahwa di wilayah NTT hampir 100 persen ibu yang selesai memberikan ASI eksklusif langsung menyodorkan anaknya dengan SKM. Hal ini sudah berlangusng cukup lama dan tak heran jika NTT sebagai wilayah di Indonesia dengan kasus stunting tertinggi.
Banyak yang menjadi faktor penyebab kasus seperti ini terjadi di wilayah NTT. Sebut saja dalam hal pendidikan, di wilayah NTT 100 persen pendidikan yang diterima ibu-ibu hanya sebatas SD (Sekolah Dasar) bahkan banyak pula yang tidak tamat. Faktor lainnya kurangnya informasi yang diterima masyarakat khususnya orang tua dari pihak-pihak terkait terlebih pemerintah yang memiliki fakta dan program akan hal tersebut.
Seputar SKM atau Susu Kental Manis memang sebenarnya tidak akan pernah ada habisnya untuk dibahas. Jika pihak yang terkait didalamnya tidak ada niat untuk saling bekerja sama menemukan titik cerah. SKM atau Susu Kental Manis ini memang bukan makanan yang berbahaya secara langsung saat pertama kali di konsumsi tetapi lambat laun pengaruh yang terkandung didalamnya yang sesuai fakta adalah gula, yang justru menimbulkan efek penyakit yang lebih berbahaya dan tidak menular seperti jantung, diabetes dan lainnya. (Kurnia)
Sumber: http://sinarharapan.net/2018/10/peneliti-lbh-berharap-kementerian-kesehatan-menegur-bpom-evaluasi-skm/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar