Pernah dilihatin orang nggak? Terus kita suka bilang, "Apaan lu lihat-lihat?" Gitu, kan?
Jangan keliru berucap. Yakin dia sekadar melihat? Jangan-jangan dia bukan "melihat", melainkan "memandang". Pandangan adalah tatapan yang dalam, sebagai proses untuk menerjemahkan pesan. Di dalam konteks kepenontonan budaya visual, "melihat" dan "memandang" memiliki ciri yang berbeda, dan seorang desainer dituntut untuk memiliki kemampuan membangun keduanya melalui karya visual.
Dalam konsep kepenontonan (spectatorship), kegiatan memandang/menatap (gaze) menjadi salah satu cirinya. Pandangan/tatapan (the gaze) adalah bagian dari aktivitas manusia untuk menerjemahkan dan memahami makna yang ditangkapnya melalui indera penglihatan. Pemahaman tentang makna pandangan/tatapan dalam budaya visual menghasilkan perbedaan sudut pandang dalam konteks gender, dan juga "kekuasaan" (power) serta "kesenangan" (pleasure) secara visual.
Sebelum membahas persoalan "pandangan/tatapan", ada tiga hal penting
yang harus dipahami terlebih dahulu, yaitu pengertian dari budaya visual (visual
culture), visualisasi (visualizing), kekuasaan visual dan kesenangan visual (visual
power and visual pleasure)
Budaya Visual:
Menurut Nicholas Mirzoeff: Budaya visual (visual culture) berkaitan
dengan peristiwa visual di mana informasi, makna, atau kesenangan dicari oleh
konsumen dalam antarmuka dengan teknologi visual.
Visualisasi:
Visualisasi (visualizing) dalam praktiknya adalah kecenderungan yang berkembang untuk memvisualisasikan hal-hal yang tidak "terlihat". Menurut François Quesnay: Prinsip visualisasi secara umum, tidak menggantikan wacana, tetapi membuatnya lebih komprehensif, lebih cepat, dan lebih efektif. Saat ini, aktivitas visualisasi melalui komputer telah menghasilkan rasa kegembiraan baru dengan adanya kemungkinan-kemungkinan visual yang dapat dikembangkan, sehingga budaya visual menjadi hal baru karena fokusnya lebih kepada visual sebagai tempat di mana makna dibuat dan diperebutkan. Di dalam konteks visualisasi, salah satu tugas utama budaya visual adalah memahami bagaimana gambar-gambar yang kompleks bersatu dan dapat menghasilkan gagasan yang baru.
Kekuasaan Visual dan Kesenangan Visual
Salah satu ciri khas dari kekuasaan visual (visual power) adalah adanya dominasi ide melalui gambar yang memberi pengaruh pada opini publik. Kekuasaan visual membangun persepsi tertentu yang berdampak pada budaya massa.
Sedangkan kesenangan visual (visual pleasure) adalah munculnya kesenangan atau kepuasan saat mengonsumsi produk-produk visual, di mana selama proses konsumsi visual tersebut dimungkinkan terbangunnya sistem kepercayaan dan kelas, serta munculnya kesadaran palsu (false consciousness). Plato percaya bahwa benda-benda yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, termasuk manusia, hanyalah salinan buruk dari cita-cita sempurna benda-benda itu. Dengan kata lain, semua yang kita lihat di dunia "nyata" melalui media, sebenarnya adalah sebuah "salinan" yang dipercaya dapat mendatangkan kesenangan.
Ciri Budaya
Visual
- Ada dominasi unsur visual
- Ada aktivitas
melihat (vision)
- Ada kepenontonan
(spectatorship)
• melihat (look),
• menonton (spectacle),
• memandang/menatap (gaze),
• mengintai (surveilance),
• mengintip (peep),
• memata-matai (spying),
• mengamati (observation)
The Gaze = memandang/menatap secara dalam
Teori ini
dikemukakan pertama kali oleh seorang psikoanalisis Jacques Lacan yang
berargumen bahwa “memandang” atau "menatap" merupakan refleksi dari “keinginan”.
Ketika kita menginginkan sesuatu, maka kita tidak hanya melihat hal tersebut,
tetapi kita akan "memandang/menatap" nya dalam-dalam, bukan sekadar melihat.
Michel Foucault
kemudian menambah konsep pandangan atau tatapan dengan teorinya terkait “kekuasaan” di
mana “memandang/menatap” merupakan suatu bentuk observasi atas kekuasaan.
Kita pun menjadi objek dari pandangan/tatapan kita sendiri, secara konstan
memonitor kelakuan, badan, dan perasaan kita berdasarkan apa yang kita pandang
dan menjadi referensi di benak kita.
Teori Foucault
tersebut pun bertemu dengan politik gender dan feminisme yang membagi pandangan
menjadi dua:
The
Male Gaze,
yaitu ketika masyarakat memandang/menatap objek
visual melalui sudut pandang laki-laki. Dalam hal ini, pada umumnya melihat
sesuatu secara sensual
The
Female Gaze,
yaitu ketika masyarakat memandang/menatap objek
visual melalui sudut pandang perempuan. Dalam hal ini, pada umumnya melihat
sesuatu secara emosional
Male
Gaze vs Female Gaze
Seorang teoritikus film feminis, Laura Mulvey mencetuskan gagasan tentang Male Gaze yang kemudian menuai respon
dari para feminis dengan mengemukakan teori Female Gaze. Menurut Laura Mulvey, "pandangan/tatapan laki-laki" dalam film, mewakili pandangan/tatapan penonton laki-laki dan juga karakter laki-laki dari pencipta filmnya. Namun, di masa
kini, oposisi biner (konsep yang memiliki makna berlawanan) antara laki-laki versus perempuan sudah mulai dicoba dihapus untuk
mencapai kesetaraan gender.
Perbedaan sudut pandang antara Male Gaze vs Female Gaze ini memunculkan 3 implikasi
penting dalam analisis visual, yaitu:
- Bagaimana laki-laki memandang/menatap perempuan
- Bagaimana perempuan memandang/menatap dirinya
- Bagaimana perempuan memandang/menatap perempuan
lain
Memandang/menatap adalah sesuatu yang penting dalam berkomunikasi. Memandang/menatap merupakan konstruksi Bahasa Visual yang muncul untuk membantu kita
menginterpretasikan interaksi-interaksi sosial dan komunikasi dalam media. Memahami bagaimana audiens memandang/menatap akan memudahkan desainer untuk
merancang karya visual yang efektif dalam menyampaikan pesan
Pandangan/tatapan juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh "Mitos".
Dikemukakan oleh Roland Barthes, mitos muncul Ketika makna konotasi
bertahan sekian lama di masyarakat sehingga dianggap sebagai suatu makna
denotasi (makna real).
Konsep Dasar Mitos:
Bagi Barthes, mitos
merupakan cara berpikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu; cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu. Bila konotasi
merupakan pemaknaan tatanan kedua dari penanda (signifier), maka mitos merupakan pemaknaan tatanan
kedua dari petanda (signified).
Dengan demikian, keterkaitan antara "Pandangan/tatapan" dan "Mitos",
bisa dilihat dari contoh-contoh berikut, di mana pandangan/tatapan membantu
mempertahankan makna konotasi di masyarakat. Ketika makna konotasi sudah dianggap sebagai hal yang wajar, ketika itu
juga mitos mewujud dan berkembang.
Dalam hal ini, peran desainer menjadi penting
karena desainer mampu mengatur pandangan/tatapan masyarakat dan memunculkan mitos-mitos
baru melalui media visual kontemporer. Mengatur pandangan/tatapan masyarakat dapat diartikan sebagai upaya membangun persepsi tertentu melalui karya-karya desain.