Minggu, 19 April 2020

Makna Pandangan atau Tatapan (The Gaze) dalam Budaya Visual


Pernah dilihatin orang nggak? Terus kita suka bilang, "Apaan lu lihat-lihat?" Gitu, kan?
Jangan keliru berucap. Yakin dia sekadar melihat? Jangan-jangan dia bukan "melihat", melainkan "memandang". Pandangan adalah tatapan yang dalam, sebagai proses untuk menerjemahkan pesan. Di dalam konteks kepenontonan budaya visual, "melihat" dan "memandang" memiliki ciri yang berbeda, dan seorang desainer dituntut untuk memiliki kemampuan membangun keduanya melalui karya visual.


Dalam konsep kepenontonan (spectatorship), kegiatan memandang/menatap (gaze) menjadi salah satu cirinya. Pandangan/tatapan (the gaze) adalah bagian dari aktivitas manusia untuk menerjemahkan dan memahami makna yang ditangkapnya melalui indera penglihatan. Pemahaman tentang  makna pandangan/tatapan dalam budaya visual menghasilkan perbedaan sudut pandang dalam konteks gender, dan juga "kekuasaan" (power) serta "kesenangan" (pleasure) secara visual.
Sebelum membahas persoalan "pandangan/tatapan", ada tiga hal penting yang harus dipahami terlebih dahulu, yaitu pengertian dari budaya visual (visual culture), visualisasi (visualizing), kekuasaan visual dan kesenangan visual (visual power and visual pleasure)

Budaya Visual:
Menurut Nicholas Mirzoeff: Budaya visual (visual culture) berkaitan dengan peristiwa visual di mana informasi, makna, atau kesenangan dicari oleh konsumen dalam antarmuka dengan teknologi visual.

Visualisasi:
Visualisasi (visualizing) dalam praktiknya adalah kecenderungan yang berkembang untuk memvisualisasikan hal-hal yang tidak "terlihat". Menurut François Quesnay: Prinsip visualisasi secara umum, tidak menggantikan wacana, tetapi membuatnya lebih komprehensif, lebih cepat, dan lebih efektif. Saat ini, aktivitas visualisasi melalui komputer telah menghasilkan rasa kegembiraan baru dengan adanya kemungkinan-kemungkinan visual yang dapat dikembangkan, sehingga budaya visual menjadi hal baru karena fokusnya lebih kepada visual sebagai tempat di mana makna dibuat dan diperebutkan. Di dalam konteks visualisasi, salah satu tugas utama budaya visual adalah memahami bagaimana gambar-gambar yang kompleks bersatu dan dapat menghasilkan gagasan yang baru.

Kekuasaan Visual dan Kesenangan Visual
Salah satu ciri khas dari kekuasaan visual (visual power) adalah adanya dominasi ide melalui gambar yang memberi pengaruh pada opini publik. Kekuasaan visual membangun persepsi tertentu yang berdampak pada budaya massa.
Sedangkan kesenangan visual (visual pleasure) adalah munculnya kesenangan atau kepuasan saat mengonsumsi produk-produk visual, di mana selama proses konsumsi visual tersebut dimungkinkan terbangunnya sistem kepercayaan dan kelas, serta munculnya kesadaran palsu (false consciousness). Plato percaya bahwa benda-benda yang dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, termasuk manusia, hanyalah salinan buruk dari cita-cita sempurna benda-benda itu. Dengan kata lain, semua yang kita lihat di dunia "nyata" melalui media, sebenarnya adalah sebuah "salinan" yang dipercaya dapat mendatangkan kesenangan.
   
Ciri Budaya Visual
-  Ada dominasi unsur visual
-  Ada aktivitas melihat (vision)
-  Ada kepenontonan (spectatorship)
            • melihat (look),
            • menonton (spectacle),
            • memandang/menatap (gaze),
            • mengintai (surveilance),
            • mengintip (peep),
            • memata-matai (spying),
            • mengamati (observation)

The Gaze = memandang/menatap secara dalam
Teori ini dikemukakan pertama kali oleh seorang psikoanalisis Jacques Lacan yang berargumen bahwa “memandang” atau "menatap" merupakan refleksi dari “keinginan”.
Ketika kita menginginkan sesuatu, maka kita tidak hanya melihat hal tersebut, tetapi kita akan "memandang/menatap" nya dalam-dalam, bukan sekadar melihat.

Michel Foucault kemudian menambah konsep pandangan atau tatapan dengan teorinya terkait “kekuasaan” di mana “memandang/menatap” merupakan suatu bentuk observasi atas kekuasaan.
Kita pun menjadi objek dari pandangan/tatapan kita sendiri, secara konstan memonitor kelakuan, badan, dan perasaan kita berdasarkan apa yang kita pandang dan menjadi referensi di benak kita.

Teori Foucault tersebut pun bertemu dengan politik gender dan feminisme yang membagi pandangan menjadi dua:
The Male Gaze, yaitu ketika masyarakat memandang/menatap objek visual melalui sudut pandang laki-laki. Dalam hal ini, pada umumnya melihat sesuatu secara sensual
The Female Gaze, yaitu ketika masyarakat memandang/menatap objek visual melalui sudut pandang perempuan. Dalam hal ini, pada umumnya melihat sesuatu secara emosional

Male Gaze vs Female Gaze
Seorang teoritikus film feminis, Laura Mulvey mencetuskan gagasan tentang Male Gaze yang kemudian menuai respon dari para feminis dengan mengemukakan teori Female Gaze. Menurut Laura Mulvey, "pandangan/tatapan laki-laki" dalam film, mewakili pandangan/tatapan penonton laki-laki dan juga karakter laki-laki dari pencipta filmnya. Namun, di masa kini, oposisi biner (konsep yang memiliki makna berlawanan) antara laki-laki versus perempuan sudah mulai dicoba dihapus untuk mencapai kesetaraan gender.

Perbedaan sudut pandang antara Male Gaze vs Female Gaze ini memunculkan 3 implikasi penting dalam analisis visual, yaitu:
-  Bagaimana laki-laki memandang/menatap perempuan
-  Bagaimana perempuan memandang/menatap dirinya
-  Bagaimana perempuan memandang/menatap perempuan lain

Memandang/menatap adalah sesuatu yang penting dalam berkomunikasi. Memandang/menatap merupakan konstruksi Bahasa Visual yang muncul untuk membantu kita menginterpretasikan interaksi-interaksi sosial dan komunikasi dalam media. Memahami bagaimana audiens memandang/menatap akan memudahkan desainer untuk merancang karya visual yang efektif dalam menyampaikan pesan

Pandangan/tatapan juga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh "Mitos".
Dikemukakan oleh Roland Barthes, mitos muncul Ketika makna konotasi bertahan sekian lama di masyarakat sehingga dianggap sebagai suatu makna denotasi (makna real).

Konsep Dasar Mitos:
Bagi Barthes, mitos merupakan cara berpikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu; cara untuk mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu. Bila konotasi merupakan pemaknaan tatanan kedua dari penanda (signifier), maka mitos merupakan pemaknaan tatanan kedua dari petanda (signified).


Dengan demikian, keterkaitan antara "Pandangan/tatapan" dan "Mitos", bisa dilihat dari contoh-contoh berikut, di mana pandangan/tatapan membantu mempertahankan makna konotasi di masyarakat. Ketika makna konotasi sudah dianggap sebagai hal yang wajar, ketika itu juga mitos mewujud dan berkembang.


Dalam hal ini, peran desainer menjadi penting karena desainer mampu mengatur pandangan/tatapan masyarakat dan memunculkan mitos-mitos baru melalui media visual kontemporer. Mengatur pandangan/tatapan masyarakat dapat diartikan sebagai upaya membangun persepsi tertentu melalui karya-karya desain.

Selasa, 07 April 2020

Teknik Analisis Film Menggunakan Prinsip Tata Bahasa Visual (Visual Grammar)


Suka nonton film?
Pada saat menonton film, apa sebenarnya yang kita tonton? Dan mengapa tontonan tersebut membuat penonton ikut terhanyut dengan adegan yang ditampilkan?

Daya tarik sebuah film adalah sebuah konstruksi, yaitu desain yang dibentuk dari elemen-elemen visual.  Di dalamnya ada sebuah tata bahasa visual yang mampu membentuk pesan atau merepresentasikan makna tertentu.

Apa yang dimaksud dengan Tata Bahasa Visual?
Christian Leborg (2006), menyebutkan 4 unsur penting di dalam Tata Bahasa Visual (Visual Grammar), yaitu:
1. Objek : Elemen dasar yang harus kita kerjakan. Bisa abstrak atau konkret
2. Struktur/Susunan : Pola yang terbentuk dari elemen dasar. Bisa abstrak atau konkret
3. Aktivitas : Proses yang dapat diwakili dengan elemen dan pola dasar
4. Relasi-Relasi : Hubungan antara objek, pola, dan proses. Itu adalah cara segala sesuatu dalam desain berhubungan satu sama lain dan dengan pemirsa

Tata Bahasa Visual dapat diterapkan pada produk-produk desain untuk media Televisi, Film, dan Video, di antaranya dengan mengolah aspek-aspek berikut:

1. Ukuran pengambilan gambar (Shot Sizes)
Wide Shot (WS)
- Kamera menyorot jauh
- Menangkap banyak hal
dalam adegan
- Memberikan tampilan tata letak adegan
- Membangun gambar
- Bisa menampilkan seluruh tubuh dan banyak karakter
Medium Shot (MS)
-  Kamera memperlihat bagian    kepala hingga pinggul
-  Menampilkan sebagian latar
-  Menampilkan satu atau interaksi dua karakter
Medium Close Up (MCU)
-    Penampilan klasik untuk wawancara.
-    Memperlihatkan kepala dan bahu
-    Cukup dapat menampilkan ekspresi wajah
Close Up (CU)
-   Lebih dekat menampilkan ekspresi wajah, lebih dramatis, lebih intim
-   Tidak membutuhkan banyak  editing
Extreme Close Up (ECU)
-   Menampilkan detail
-   Fokus pada subjek, seperti pada matanya, tangannya, bibirnya

2. Pembingkaian ruang visual (Framing)
Aturan per tiga  (The Rule of Thirds):  mengkomposisikan gambar ke dalam per tiga grid imajiner, baik secara vertical maupun horisontal
Framing Kiri (left) : Melihat ke arah kamera atau tidak melihat ke arah kamera
Framing Tengah (center)
Framing Kanan (right)
Full Frame: Gambar penuh, atau gambar berada di sisi kiri dan kanan

3. Efek pengambilan gambar (Shooting for Impact)
Dua hal penting yang perlu dipertimbangkan (White, 2009):
Jarak dan perspektif (distance and perspective), yaitu adegan atau peristiwa di dalam scene digambarkan dengan kualitas jarak dan perspektif. Gambar dapat tampil kuat dan menarik dengan latar depan yang jelas, dalam jarak menengah, dan perspektif jauh.
Fokus perhatian ( focus of attention), yaitu adegan atau peristiwa yang penting harus menjadi fokus perhatian. Pastikan adegan atau peristiwa utama dapat dilihat.

Pada efek pengambilan gambar, tampilan ruang visual dapat  dilihat berdasarkan perspektif ruang (Block, 2008):
One-Point Perspective, yaitu Penonton diajak untuk mengarahkan pandangannya pada satu titik habis perspektif  (vanishing point= VP).
Two-Point perspective, yaitu tipe tampilan dengan dua titik habis perspektif (VP).
Three-Point Perspective, yaitu tipe tampilan dengan tiga titik habis perspektif (VP), umumnya latar dalam perspektif dari atas atau dari bawah objek tontonan, serta dari kiri dan  kanan objek.

4. Sekuen (Sequences)
Sekuen (Sequences) adalah: Scene-scene yang disusun menjadi satu kesatuan, menjadi suatu kejadian utuh. Sekuen memperlihatkan kejadian aksi pada layar dari beberapa pengambilan gambar yang berbeda.  Misalnya:   Seorang lelaki mencopet -lelaki itu lari ke atas jembatan - Orang-orang lari mengejar sang pencopet
Sekuen terdiri dari: Scene-scene pendahuluan - Scene-scene tengah - Scene-scene akhir. Tujuan dari alurnya adalah membangun rasa keterlibatan penonton terhadap tontonan


Berikut adalah sebuah Film Pendek berjudul "Perspektif Terbalik", film yang meraih predikat BEST MOVIES HELLOFEST 2014. https://www.youtube.com/watch?v=MWQuQn8d1S8 Film ini menerapkan keempat aspek di dalam pengolahan tata bahasa visual yang melibatkan unsur objek, struktur, aktivitas, dan relasi.

Silakan dianalisis:
1. Pada ukuran pengambilan gambar, terdapat shot sizes apa saja, dan jelaskan adegan apa.
2. Pada pembingkaian ruang visual, menggunakan framing apa, dan jelaskan adegan apa.
3. Pada efek pengambilan gambar, menggunakan perspektif apa, dan jelaskan adegan apa
4. Pada sekuen, jelaskan adegan apa yang termasuk scene pendahuluan, tengah, dan akhir.

Hasil analisis diketik dalam format Word A4, Time New Roman, 1 spasi, dan dikirim ke email: winnygw@yahoo.com, paling lambat hari Minggu, tanggal 12 April 2020. Tugas analisis ini untuk penilaian UTS MK Desain dan Media. 


Senin, 06 April 2020

Catatan Perjalanan Penelitian Tahun Pertama PDUPT ke Situs Gunung Padang Cianjur


Tahun 2019, Tim Peneliti PDUPT (Dirjen Dikti) dari Prodi DKV Universitas Indraprasta PGRI, yang terdiri dari Winny Gunarti WW, Wulandari, dan Syahid, memulai rangkaian perjalanan penelitian ke Situs Gunung Padang yang terletak di Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur Jawa Barat. Tujuan dari penelitian ini adalah merancang buku foto dan mempublikasikan hasil penelitian ke jurnal nasional maupun internasional. Buku foto dalam penelitian ini dirancang menggunakan tiga genre fotografi, yaitu genre still life, landscape, dan story. Melalui karya fotografi, Tim Peneliti berupaya memvisualisasikan pesan budaya sebagai bentuk kreativitas dan partisipasi melestarikan peninggalan sejarah situs di Zaman Megalitikum. Karya seni foto pada dasarnya memiliki potensi untuk menghadirkan “kisah” di balik objek foto dan mampu mengajak pembacanya berinteraksi

https://www.youtube.com/watch?v=T6m6lSZ3ZMI&t=3s


Berikut adalah catatan perjalanan penelitian kami selama bulan April-September 2019:  
1. Tim Peneliti mengikuti kegiatan Photo Book Workshop yang diselenggarakan oleh JIPFest bersama Teun van der Heijden dan Sandra van der Doelen, tanggal 28 Juni-2 Juli. Dummy buku foto tersebut kemudian dipamerkan pada Jakarta International Photo Festival (JIPFest), sebuah kegiatan tahunan fotografi internasional hasil kerjasama PannaFoto Institute, Yayasan Tifa,   World Press Photo dan Cohive. JIPFest tahun 2019 yang diselenggarakan di Taman Ismail Marzuki, berlangsung dari tanggal 25 Juni-9 Juli dengan tema “Identitas”.

2. Tim Peneliti berhasil mewawancari kurator Louise Wolthers di Hasselblad Foundation, Swedia, dan memperoleh kesempatan untuk mengunjungi Hasselblad Library, serta menyerahkan Buku Foto “Still Life at Gunung Padang Site” untuk menjadi bagian dari koleksi buku foto di perpustakaan tersebut. Hasselblad Foundation yang beralamat di Ekmansgatan 8 SE 412 56 Göteborg, Sweden, adalah yayasan nirlaba yang bergerak di bidang publikasi, penelitian, dan penghargaan terhadap karya-karya fotografi. Yayasan Erna dan Victor Hasselblad didirikan pada tahun 1979 dengan tujuan mempromosikan penelitian dan pengajaran akademik dalam ilmu alam serta fotografi.

3. Tim Peneliti mengunjungi Fotografiska, untuk melihat pameran dari fotografer Vincent Peters, Scarlett Hoof Graafland, Mandy Barker, James Nachtwey, dan Refik Anadol. Saat itu, kebetulan sedang ada  koleksi "Memoria" James Nachtwey, jurnalis fotografer Amerika Serikat yang karya-karyanya selalu ditunggu mata dunia. Fotografiska adalah tempat pertemuan fotografi internasional. Museum ini secara rutin menyelenggarakan pameran. Ruang pameran seluas 2.500 meter persegi, dan menampilkan empat pameran besar per tahun, dan sekitar 15-20 pameran kecil. Fotografiska dibuka pertama kali tahun 2010 dan menjadi tempat atraksi fotografika yang populer. Setiap tahunnya, museum fotografi ini dikunjungi oleh lebih dari 500.000 pengunjung mancanegara. Fotografiska, The Museum of Photography  beralamat di Stadsgardshamnen 22, Stockholm.

4. Observasi berikutnya, Tim Peneliti mengunjungi The Röhsska Museum, Museum of Design and Craft yang berlokasi di Vasagatan 37-39,Göteborg, Sweden. Museum ini menampilkan sejarah desain antara tahun 1800-2010, melalui contoh-contoh desain dan kriya pada masanya, mulai dari furnitur, fesyen, poster, tekstil, keramik, penjilid buku, potongan kayu Jepang, dan desain industri. Museum Röhsska adalah satu-satunya museum di Swedia yang berspesialisasi dalam desain dan kerajinan sejak 1916, mulai dari desain kontemporer hingga keramik Cina berumur beberapa ribu tahun. Benda-benda dalam koleksi museum bercerita tentang kreativitas, ekspresi, gaya, mode, dan cita-cita artistik selama era yang berbeda.

5. Selanjutnya, Tim Peneliti mengikuti kegiatan diskudi buku foto “Still Life at Gunung Padang Site”di Gueari Galeri. Diskusi buku foto Situs Gunung Padang dibawakan oleh Wulandari pada tanggal 30 Agustus 2019, sebagai hasil dari Workshop di JIPFest beberapa waktu lalu. Gueari Galeri adalah komunitas fotografi yang diprakarsai oleh Andi Ari Setiadi. Galeri ini berlokasi di komplek kios Pasar Modern Santa di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Gueari Galeri tidak hanya memamerkan berbagai koleksi buku foto dari karya fotografer nasional maupun internasional, tetapi juga sering menggelar kegiatan diskusi dan sebagai penerbit.  

6. Tim Peneliti telah berhasil mempublikasikan hasil penelitian tahun pertama ini ke sejumlah jurnal nasional dan internasional, yaitu:
Journal of Arts and Humanities (ISSN 2167-9045-print, ISSN 2167-9053-Online), Vol. 8 No 10, October 2019, https://www.theartsjournal.org/index.php/site/article/view/1753
Jurnal Mudra, Jurnal Seni dan Budaya, Vol 34 No. 3, September 2019, Terakreditasi SINTA 2 https://jurnal.isi-dps.ac.id/index.php/mudra/article/view/689
Jurnal Antropologi (Jantro): Isu-Isu Sosial Budaya, Vol 21 No. 2,  Desember 2019, Terakreditasi SINTA 2 , http://jurnalantropologi.fisip.unand.ac.id/index.php/jantro
Jurnal Muara: Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni, Vol. 3 No. 1, April 2019, Terakreditasi SINTA 4, http://journal.untar.ac.id/index.php/jmishumsen/article/view/3451
 IJASTE – International Journal of Applied Sciences in Tourism and Events Vol.3 No.2 December 2019, Terakreditasi SINTA 3 http://ojs.pnb.ac.id/index.php/IJASTE/article/view/1459


Rabu, 09 Oktober 2019

Desain, Media, dan Industrialisasi Pikiran. Catatan dari ICOFLEX 2019

"Design, Media, and Industrialization of the Mind", ini adalah judul yang saya presentasikan sebagai Invited Speaker di momen Konferensi Internasional ICOFLEX (The 1st International Conference on Folklore, Language, Education and Exhibition 2019, pada 1 Agustus 2019, di Hotel Bidakara, Jakarta. Universitas Indraprasta PGRI sukses menyelenggarakan konferensi internasional ini, di mana lebih dari 400 pendaftar dari manca negara, diikuti oleh 250 peserta yang berasal dari 6 negara (Indonesia, Brunei, Belanda, India, Bulgaria, Kanada), dan dari 18 propinsi di Indonesia. Konferensi ini menghadirkan pembicara Dr. Aone Van Engelenhoven (Belanda), Dr. Gautam Kumar Jha (India), Dr. Winny Gunarti dan Harry B. Santoso, Ph.D (Indonesia).

Pada kesempatan ini, saya menyampaikan bahwa Industrialization of the Mind adalah essay yang ditulis oleh Hans Magnus Enzensberger (1982),  seorang penulis, penyair, dan juga intelektual asal Jerman yang banyak melahirkan pemikiran-pemikiran sosial. Dalam essay-nya ia mendiskusikan tentang keterkaitan media massa dengan pendidikan, di mana industrialisasi pikiran menjadi fenomena yang krusial. Industri yang menjadikan pikiran dipandang sebagai produk dengan berbagai bentuknya hingga kehilangan batas-batas pengertian.

Pandangan Enzensberger ini dalam dalam konteks desain dan media, dapat mengarahkan kita tentang pembentukan pikiran manusia yang seragam melalui konstruksi desain dan media. Secara garis besar, representasi media adalah hasil dari seleksi dan kemasan desain. Dalam perkembangan teknologi informasi yang kian pesat saat ini, di mana kita dikepung oleh objek-objek yang bersifat 'visual', maka segala sesuatu yang divisualisasikan memiliki potensi untuk memengaruhi pikiran-pikiran kita sebagai pengguna. Penyebaran informasi visual berulang tentang ide, pendapat, atau indoktrinasi tertentu dapat mengakibatkan pola sosial, sikap, identitas, perilaku, dan cara berpikir kita. Maka kita harus berhati-hati dalam membangun persepsi terhadap berbagai informasi di sekeliling kita, yang merupakan konstruksi desain dan relasinya dengan media massa.
Menjadi Invited Speaker di ICOFLEX 2019

Penyerahan Penghargaan dari Unindra


Minggu, 23 Desember 2018

Mensyukuri Akhir Tahun Dengan Publikasi Artikel di Book Chapter


Suatu malam di bulan Maret 2018, saya menemukan buku yang berjudul “Camera Branding, Cameragenic  vs Auragenic”,  sebuah buku lama yang ditulis oleh Rhenald Kasali (2013). Namun  saya tertarik untuk membelinya. Dalam buku itu, Rhenald Kasali merumuskan  tentang 10 prinsip yang diperlukan untuk membangun Camera Branding, yaitu: authentic, keunikan, intangibles, fokus, gallery mindset, connected, meaningful, consistently delivered, flavor, dan sustainable.

Yang menarik, setiap kali saya membaca sebuah buku, selalu ada energi positif yang menghampiri.  Demikian pula saat saya membaca buku Rhenald Kasali. Hari itu, apa yang dipaparkan oleh Kasali dalam bukunya tentang Camera Branding langsung menginspirasi  saya untuk mengkaji lebih lanjut, terutama penerapannya dalam sebuah program televisi.  Saya pun memilih studi kasus untuk Program Reality Show , yaitu tayangan  “Rumah Uya”, satu di antara tontonan  Reality Show  yang masih eksis hingga saat ini, dan disiarkan oleh Trans7 sejak tahun 2015.

Menurut saya, pembahasan tentang penerapan Camera Branding dalam Reality Show penting untuk dipahami oleh akademisi, khususnya mahasiswa komunikasi maupun desain komunikasi visual,  karena pada prinsipnya, penyampaian pesan melalui Reality Show tidak dapat dilepaskan dari unsur-unsur visual pembangunnya. Produk tontonan itu sendiri adalah produk budaya massa yang  dapat membentuk persepsi sosial. Apalagi menyongsong tahun politik di tahun 2019. "Camera Branding" dapat menjadi senjata untuk membangun citra seseorang.

Oleh karena itu, saya pun menulis artikel berjudul “Camera Branding Dalam Reality Show Televisi Rumah Uya”.  Tulisan tersebut, kemudian saya ikutsertakan dalam publikasi Book Chapter yang digagas bersama oleh Lintas Budaya Nusantara dengan Departemen Sejarah dan Filologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran.  

Alhamdulillah, di akhir November 2018, tulisan tersebut telah dimuat dalam Book Chapter berjudul “Lintas Budaya Nusantara Dalam Perspektif Kajian Multidisiplin” yang diterbitkan oleh PT. Raness Media Rancage, anggota IKAPI. Distribusinya pun telah di mulai sejak awal Desember lalu.  Selain tulisan saya, buku ini juga memuat 16 topik kajian lainnya tentang budaya, media, dan komunikasi, termasuk kajian desain, seperti artikel berjudul “Tipografi Vernakular: (R)Asa Desa di Kota Sebagai Pengobat Rindu”, karya Agung Zainal MR.

 

Bagi yang berminat untuk memiliki Book Chapter tersebut, kini sudah dapat dipesan melalui Raness Media di nomor telepon 085353147899, atau melalui email: raness.media@gmail.com

Ini adalah sebuah catatan akhir tahun yang  membahagiakan. Sebuah rasa syukur. Terima kasih buat yang sudah menyempatkan diri membaca tulisan ini. Semoga di tahun 2019, selalu ada inspirasi positif buat kita semua.

Jumat, 30 November 2018

Catatan Orasi Ilmiah di Acara Wisuda ke-65 UNINDRA


MEMAKNAI ENTITAS BUDAYA VISUAL DI MEDIA SOSIAL

Intisari Pesan Orasi Ilmiah di Acara Wisuda UNINDRA ke-65, 31 Oktober 2018
Dr. Winny Gunarti Widya Wardani, M.Ds.

Saat ini, kehidupan masyarakat pada umumnya, dan khususnya di perkotaan, telah mengalami tingkat ketergantungan yang tinggi pada “layar” ruang visual. Gejala-gejala nomophobia atau ketergantungan pada smartphone semakin  mudah ditemukan dan menggejala pada generasi muda. Bahkan sindrom FoMo (Fear of Missing Out) yaitu ketakutan untuk ketinggalan informasi, status terkini, atau segala sesuatu yang perlu di up date, semakin berpotensi menjadi penyakit sosial yang mewabah.
Peradaban manusia saat ini adalah bentuk-bentuk entitas budaya visual yang dihadirkan untuk memuaskan kebutuhannya akan informasi dan hiburan. Pertanyaan mendasar dalam konteks budaya visual, yang mungkin menggelitik sanubari kita sebagai makhluk sosial adalah: pemenuhan "kebahagiaan" seperti apa yang dapat kita temukan dalam kemajuan teknologi visual?  
Dalam arti luas, budaya visual membahas segala sesuatu yang bersifat visual. Budaya visual berperan di dalam pembentukan budaya populer, yaitu suatu aktivitas budaya yang disukai secara massal.  Sedangkan dalam arti yang lebih sempit, budaya visual dibentuk oleh teknologi visual modern seperti televisi, filem, video, permainan virtual, termasuk produk di media sosial seperti instagram, twitter, youtube, facebook, hingga aplikasi pesan instan di ponsel cerdas. Bahkan kini semua artefak budaya visual tersebut dapat diakses hanya melalui perangkat ponsel cerdas. Kita diserbu oleh sensasi bahasa visual. Kita pun menjadi tunduk pada hegemoni teknologi informasi. Kita terjebak di dalam ruang-ruang visual media sosial, menyerap segala sesuatu yang tampak pada layar. Kita sering mengalami kesulitan untuk membuat batasan-batasan moralitas terhadap serbuan informasi yang datang, hingga akhirnya kita cenderung bersikap tidak peduli dan tidak lagi kritis. 
       Bisa dibayangkan betapa padatnya arus bahasa visual di sekeliling kita. Di dalam keseharian kita sebagai pengguna ponsel, tidak jarang terjadi penyebaran secara masif informasi atau gambar/foto dengan muatan yang melanggar kesusilaan, seperti meme-meme yang cenderung melecehkan orang lain, khususnya yang menggunakan objek visual perempuan dan anak-anak. Tidak jarang para pelaku penyebaran informasi dan yang menerima informasi tersebut ikut "terpuaskan" karena menganggap semua itu hanyalah humor belaka. Padahal seharusnya kita bersikap prihatin dan ikut berpikir untuk menghentikannya. 


Penyampaian Orasi Ilmiah di acara Wisuda Unindra ke-65, 2018

Pemerintah juga  telah  mengatur  etika  dalam  berbagi  informasi dan gambar melalui UU ITE, dalam  Undang-Undang  Nomor  19 Tahun  2016 (tentang  perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008) Tentang  Informasi  dan  Transaksi  Elektronik, khususnya  pada  Pasal  45  Ayat  1 yang  berbunyi:  
“Setiap  orang  yang  dengan  sengaja  dan tanpa  hak  mendistribusikan  dan/atau  mentransmisikan  dan/atau  membuat  dapat  diaksesnya informasi elektronik dan/atau  Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  27  ayat  (1)  dipidana  dengan  pidana  penjara  paling lama  6  (enam)  tahun  dan/atau  denda  paling  banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu  miliar rupiah)”,  https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/users/4761/UU%2019%20Tahun%202016.pdf.
Jadilah kita pelaku dan pengguna budaya visual yang cerdas dan bijak. Mari terus mewaspadai dan meningkatkan kesadaran kita tentang bentuk-bentuk entitas budaya visual yang cenderung melahirkan kekerasan simbolik melalui penyebaran informasi di media sosial. Mari membangun kesadaran kita untuk tidak membiarkan pikiran kita terkonstruksi dan dikonstruksi oleh produk-produk budaya yang sebatas memenuhi hasrat sesaat. Sebagai generasi penerus bangsa, kita memiliki tanggung jawab yang besar untuk terus menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang tetap menjaga nilai-nilai kebudayaan dan nilai-nilai keagamaan. Pemenuhan “kebahagiaan” yang dapat kita temukan dalam kemajuan teknologi visual sesungguhnya terletak pada perbuatan-perbuatan kita.

Makna Pandangan atau Tatapan (The Gaze) dalam Budaya Visual

Pernah dilihatin orang nggak?  Terus kita suka bilang, "Apaan lu lihat-lihat?" Gitu, kan? Jangan keliru berucap. Yakin dia se...